REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pemerintah Daerah berencana untuk membeli alat pemilah sampah senilai Rp 100 Miliar. Dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Wiratni, menilai teknologi yang berhasil dipakai di negara lain belum tentu berhasil juga digunakan di Yogyakarta.
"Kalau boleh berpesan untuk Pemerintah Daerah Yogyakarta, intinya teknologi yang berhasil di tempat lain itu belum tentu itu the best juga untuk di Yogyakarta, karena dilihat karakteristik sampahnya, misalnya teknologi yang terbukti di Singapura berhasil Singapura jadi sebersih itu. Apa iya kalau teknologi itu kita beli kita pasang di jogja terus kita otomatis seindah Singapura? Sebersih Singapura? Itu belum tentu," kata Wiratni dalam kegiatan Pojok Bulaksumur, di UGM, Senin (21/8/2023).
Wiratni menjelaskan bahwa karakteristik sampah di Singapura kemungkinan didominasi komponen anorganik. Sehingga menurutnya teknologi pembakaran lebih tepat dilakukan karena karakteristik sampah organiknya sedikit.
"Mungkin buat mereka teknologi pembakaran yang lebih tepat karena organiknya sedikit. Kalau kita di Jogja lebih dari 70 persen, lebih dari 80 persen malahan sampah kita sampah organik," ucapnya.
Ia pun mencontohkan sampah organik seperti misalnya membakar apel yang 90 persen kandungannya berisi air. Menurutnya untuk bisa membakar apel tidaklah mudah. "Itu butuh energi yang sangat besar untuk membuat buah apel yang isinya 90 persen air itu bisa hilang. Ini yang perlu dipelajari dulu oleh pemda, walaupun mungkin kemrungsung karena sudah didemo, diprotes masyarakat tapi ini benar-benar harus dipilih dengan kepala dingin," ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa UGM juga sudah beberapa kali diminta menyampaikan studinya kepada Pemda DIY terkait teknologi apa yang tepat untuk mengatasi persoalan sampah. Selain itu penting juga menurutnya untuk mengajak rembuk pakar dari universitas lain untuk mencari solusi soal sampah.
"Semakin banyak yang mikir kan semakin baik, apalagi melibatkan uang yang sangat besar itu dilihat kembali lah studi-studi yang pernah dilakukan dulu, nggak perlu studi baru lagi, karena UGM sudah beberapa kali melakukan studi itu," kata dia.