REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Hadi Saputra (Kaprodi Ilmu Komunikasi dan Direktur Kehumasan & Urusan Internasional, Universitas AMIKOM Yogyakarta)
Pembaca yang kreatif, seorang mahasiswa bernama Karen menceritakan secara singkat pengalaman masa kecil yang tidak disukainya. Suatu malam dia mendengar ayah dan ibunya bertengkar. Suara itu membuatnya menangis.
Saya mencoba bertanya hal ini karena Karen mengungkapkan betapa dia tidak percaya kepada laki-laki. Tingkat kepercayaan tertingginya hanya 70 persen. Bahkan tingkat terendahnya menembus 20 persen. Saya mencoba bertanya adakah hal yang dia tidak sukai pada masa lalunya. Ternyata jawabannya seperti di atas.
Saya bertanya lagi, kalau diberi seukuran layar, seberapa besar kenangan buruk itu mempengaruhi dirinya. Karen mengatakan seukuran layar televisi yang paling besar. "Adakah sekitar 100 inch?" lanjut saya. Mahasiswa itu pun mengiyakan. Tidak ingin berlama-lama pada situasi ini, saya meminta layar yang sangat besar itu dia ubah seukuran laptop.
Pembaca yang kreatif, koneksi normal membuat interaksi via Zoom ini berjalan lancar. Peserta yang lain ikut berkonsentrasi memperhatikan. Walaupun Karen memejamkan mata, dia mengangkat kedua tangannya membentuk ukuran laptop. Saya pun kemudian bertanya, apa yang dia lihat di layar laptop itu? Ternyata yang dia lihat adalah kenangan ibu dan ayahnya bertengkar yang suaranya sangat terdengar jelas.
Lalu saya minta dia untuk membuka matanya pada hitungan ketiga. Sekarang saya ingin membandingkan momen pertama itu dengan situasi kedua. Saya kemudian bertanya lagi, adakah momen bahagia yang pernah dirasakannya? Kalau bisa yang seukuran atau bahkan lebih besar dari kenangan pertama.
Dia mengatakan sewaktu SMP ia merasakan kebahagiaan yang sangat kuat ketika keluarga besarnya, bersama saudara-saudaranya, pergi liburan ke luar negeri. Salah satu rasa suka citanya adalah melihat sepupunya yang paling kecil bernama Dede yang tingkah lakunya sangat lucu dan menggemaskan. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya, tetap dengan mata dipejamkan.
Kemudian saya meminta tolong kenangan bahagia ini dia buat seukuran layar handphone dan ia letakkan di kiri bawah layar laptop (kenangan pertama). Saya memastikan kedua momen itu dengan bertanya kembali, apa yang dilihat di layar laptop dan di layar HP? Dia pun menjawab dengan sangat jelas. Di laptop ada kenangan masa kecilnya yang dia tidak suka dan di layar HP ada kenangan bahagia bersama keluarga liburan ke luar negeri.
Lalu sambil saya membunyikan suara swish (suara seperti desiran angin), saya meminta Karen menarik layar HP, pelan-pelan diperbesar, semakin besar sampai menutupi atau menimpa gambar yang ada di layar laptop. Sejenak saya berikan waktu untuknya menikmati visual yang ada di layar itu. Dirasa cukup, saya menanyakan apa yang dilihatnya. Tanpa sadar dia membuka lebar senyumannya. Padahal dua hari sebelumnya dia tidak pernah tersenyum selebar itu.
Dia merasakan momen yang sangat bahagia. Saya menutup momen itu dengan memberi pesan inspiratif untuk dia renungkan dan yakini. Kondisi ini bisa diulang beberapa kali sampai mendapatkan perubahan perilaku yang terlihat lebih baik dan positif.
Pembaca yang kreatif, ketika satu pintu kesuksesan tertutup yakinlah mesti ada pintu lain yang dibukakan. Namun mengapa seseorang tidak pernah melihat, mendengar, dan merasakan ada pintu lain yang terbuka untuknya? Jawabannya jelas. Karena dia masih fokus pada pintu yang tertutup.
Ketika kenangan negatif terlalu mempengaruhi pikiran Anda saat ini, maka Anda cukup mengatakan "cut!" seperti seorang sutradara yang minta adegan dihentikan. Kemudian gantilah perintahnya dengan "Camera, rolling, action!" Munculkanlah momen paling bahagia yang pernah Anda rasakan. Sehat dan sukses selalu.