REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Aktivitas gunung api di Indonesia yang tinggi seperti erupsi sering disertai abu vulkanik yang menyebabkan penurunan kualitas udara. Penurunan kualitas udara disebabkan kandungan gas-gas kimia seperti CO, NO2 dan SO2.
Bila terlalu lama terpapar abu vulkanik salah satu akibatnya infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Untuk mengurangi paparan abu vulkanik, masyarakat di sekitar gunung api umumnya menggunakan masker, salah satunya masker N95.
Sayangnya, masker N95 masih belum efektif dalam menyaring debu vulkanik karena masker N95 cuma mampu menyaring debu ukuran 300 nanometer. Perlu pengembangan masker ukuran pori kurang 300 nm agar lebih efektif menyaring debu vulkanik.
Selain itu, kandungan polimer berbahan plastik menyebabkannya sulit terdegradasi dalam tanah. Penumpukan limbah masker medis berpotensi jadi sumber mikroplastik. Karenanya, perlu pengembangan masker dari polimer yang mudah terbiodegradasi.
Hal inilah yang melatarbelakangi sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengembangkan masker nano fiber yang ramah lingkungan. Uniknya, mereka memanfaatkan limbah ampas tebu dengan metode enzimatik.
Ada Siti Mustika Ayu, Inten Widyaningrum, dan Dayu Arinda dari Prodi Kimia, serta Intan Tri Wahyuni dan Keysa Havida Nugraha dari Pendidikan Biologi. Limbah ampas tebu dipilih karena jika tidak diolah benar dapat menimbulkan dampak negatif.
"Setiap satu ton tanaman tebu, akan menghasilkan 100 kilogram ampas tebu kering yang mengandung kadar selulosa 40 persen. Kandungan selulosa dalam ampas tebu dapat dimanfaatkan untuk pembuatan nanofiber," kata Mustika, Kamis (20/1)
Nanofiber yang memiliki ukuran permukaan dimensi 1-100 nm bisa jadi alternatif menyaring debu vulkanik. Nanofiber dapat dibuat dari selulosa yang berasal dari dinding sel tumbuhan yang diekstraksi dan menghasilkan serat berukuran nano.
Dalam mengubah selulosa menjadi nanoselulosa dapat menggunakan perlakuan awal dengan alkali. Kemudian, diikuti dengan hidrolisis enzimatik untuk menghilangkan lignin dan membatasi degradasi karbohidrat dibanding dengan metode kimia lain.
Uji coba pembuatan masker dilakukan di Lab Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY. Untuk prosedur perlakuan awal dan metode enzimatik, serta riset secara mandiri yang dilakukan di Bantul untuk karakterisasi biodegradasi nanofiber.
Bahan yang digunakan ada ampas tebu, KOH, air deionisasi, buffer asetat, tissue, xilanase, koran bekas, alkohol 70 persen, etanol, tanah, dan kain kasa. Langkah pertama ampas tebu dibersihkan dari kotoran dengan menggunakan alkohol.
Keringkan ampas tebu di 60 derajat celcius selama 24 jam. Ampas tebu yang telah kering diayak ayakan 150 mesh. Serat ampas tebu didelignifikasi dengan KOH lima persen 1:20. Hasil selulosa dicuci hingga netral dan dikeringkan penyaring buchner.
Ampas tebu konsentrasi 25 persen b/v ditambah ke buffer asetat dengan pH 6. Enzim xilanase 35,24 mg dilarut ke 70 mL, tiap satu menit ditetesi satu mili xilanase. Campuran diaduk 45 derajat yang divariasi 12, 24 dan 48 jam memakai hot plate.
Suspensi dikenakan penangas termostatik yang diatur ke 80 derajat 30 menit untuk mendenaturasi enzim. Pulp yang tersisa dicuci air deionisasi dan dipisah dengan sentrifugasi 300 rpm 15 menit. Nanofiber ampas tebu dihidrolisis dengan metode enzimatik.
"Setelah diberi perlakuan enzimatis, enzim secara efisien dapat menghidrolisis hemiselulosa, memecah struktur serat dan membelah ikatan, sehingga terbentuk serat nano, dengan diameter 31.0 ± 10.0 nanometer," ujar Mustika.
Penyaringan debu vulkanik dengan masker berbahan dasar nanofiber selulosa dari ampas tebu melalui metode enzimatik memiliki diameter 31.0 ± 10.0 nanometer. Jadi, akan lebih efektif dalam menyaring debu vulkanik berskala 2-300 nanometer.
"Diperlukan penelitian lanjutan berupa uji aktivitas antimikroba kepada produk nanofiber selulosa ampas tebu agar didapatkan produk masker yang baik," kata Mustika.