REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Pengadilan Negeri Surabaya kembali melanjutkan sidang kasus dugaan pencabulan di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang dengan terdakwa Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) atau Mas Bechi pada Rabu (28/9).
Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan dari ahli forensik yang didatangkan tim kuasa hukum Mas Bechi. Ahli forensik yang dihadirkan adalah Kepala Lab Forensik RSUD dr. Soetomo, Surabaya.
Ketua tim pengacara MSAT, Gede Pasek Suardika menjelaskan, ahli yang didatangkannya kali ini untuk dapat membuat terang beberapa hal yang selama ini dianggapnya bermasalah. Di antaranya soal timbulnya 3 surat visum, dan hasil dari visum itu sendiri.
"Ahli menganalisa soal visum. Dari analisa ahli, visum tersebut tidak bisa memenuhi syarat untuk dijadikan alat bukti karena melanggar syarat formil dan materiil," kata Gede.
Gede menjelaskan, berdasarkan keterangan ahli, visum harusnya hanya satu kali saja. Tidak boleh ada revisi atau perbaikan. Kemudian, ketika sudah muncul surat visum, maka dokter pembuat visum harus mampu mempertahankan apa yang sudah dibuatnya.
"Kalau (surat visum) sudah launching yang namanya visum itu ya harus bertahan. Harusnya satu kali saja. Sementara dalam kasus ini kan muncul 3 surat visum. Karena itu lah perlu diproses secara hati-hati," kata Gede.
Gede melanjutkan, dalam keterangan ahli, juga didapati keterangan tentang model robekan. Apakah robekan tersebut dikarenakan hasil dari hubungan berdasarkan paksaan atau karena sebelumnya ada rangsangan lebih dulu.
"Ternyata saya baru tahu, kalau secara medis, jika robekan itu menuju angka 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 itu yang muncul karena proses rangsangan. Tetapi kalau robekan itu 10, 11, 12, 1, dan 2, itu karena paksaan" ujar Gede.
Sementara itu, lanjut Gede, berdasarkan hasil visum korban, robekan itu menunjukkan angka 2 menuju angka 9. Menurutnya, hal itu menandakan terjadi proses rangsangan lebih dulu sebelum terjadi persetubuhan.
"Dan itu sudah lama, robekan lama. Dari robekan itu kita semakin yakin visum itu tidak memenuhi syarat. Toh kalau angka itu dianggap benar, tidak ada konteks pemerkosaan karena ada rangsangan. Ini Liniar dengan saksi sebelumnya bahwa yang bersangkutan pernah berhubungan dengan pacarnya," kata Gede.
GPS menambahkan, soal foto forensik organ vital korban yang dijadikan alat bukti dipersidangan juga sempat dipertanyakan pihaknya. Sebab, dalam kesaksian dokter pembuat visum sebelumnya, ia menyodorkan foto organ vital yang diakuinya milik dari korban.
Jaksa Penuntut Umum Tengku Firdaus menyatakan, apa yang disampaikan ahli di persidangan justru mendukung dakwaannya. Termasuk, soal kenapa sampai timbul lebih dari dua kali surat visum. Ia mencontohkan soal kesalahan penulisan dalam visum, bahwa tidak pernah ada visum itu arah jarum jam 13. Dalam visum, kata dia, hanya dikenal dari jam satu sampai 12.
"Dia (ahli) menjelaskan, malah mendukung keterangan kita. Jadi ada beberpaa keterangan yang memperkuat keterangan kita. (Soal dua surat visum) juga ada aturan formil dan materiil. Rumah sakit tidak bisa menolak permintaan visum yang diminta penyidik," ujarnya.