REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Pengadilan Negeri Surabaya kembali melanjutkan sidang kasus dugaan pencabulan di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, dengan terdakwa Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) atau Mas Bechi pada Senin (24/10). Sidang kali ini beragendakan replik atau tanggapan jaksa atas pledoi atau pembelaan terdakwa Mas Bechi yang disampaikan pada sidang sebelumnya.
Pada pledoi yang dibacakan Mas Bechi, salah satu yang dikeluhkan adalah adanya kelemahan dalam saksi jenis testimonium de auditu. Dimana tidak adanya saksi yang menyaksikan kejadian yang didakwakan terhadap Mas Bechi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tengku Firdaus menganggap wajar bahwa perbuatan asusila itu yang mengetahui persis perbuatan terdakwa adalah hanya saksi korban.
"Gak ada saksi yang melihat. Kalo ada saksi ya gak mungkin terjadi. Artinya bisa memperkuat dakwaan kalau sesuai selama sama dengan rangkaian peristiwa jadinya utuh," ujarnya.
Kuasa hukum Mas Bechi, Gede Pasek Suardika menganggap replik yang disampaikan jaksa tidak mampu menjawab dua peristiwa asusila yang ada dalam dakwaan. Padahal, replik setebal 30 halaman itu harusnya menjawab soal dua peristiwa yang dituduhkan pada kliennya.
Dua peristiwa yang dimaksud adalah peristiwa pemerkosaan yang dituduhkan ketika proses wawancara. Dimana dalam dakwaan disebutkan bahwa rangkaian peristiwa itu terjadi mulai pukul 07.00 Wib hingga 11 siang.
"Ketika kami tanya 2 peristiwa, kesatu, kejadian pertama bagaimana kisahnya ketika dari proses wawancara jam 7 pagi lalu jam 11 siang terdakwa ngajak yang ngaku korban diperkosa. Padahal jam 7 itu sudah telanjang dan sudah diupacarai ijab kabul. Jam 7-11 itu ngapain aja ga pake baju. Kenapa pemerkosaan jam 11. Itu nggak dijawab," ujar Gede.
Gede menyatakan, dengan tidak adanya jawaban soal peristiwa itu, semakin menguatkan dugaannya tentang cerita atau peristiwa yang fiktif. Apalagi menurutnya, jaksa tidak menjelaskan keganjilan peristwa tersebut secara gamblang.
"Ini sangat mungkin fiktif. Kalau nggak ya harusnya bisa dijawab jam segitu ngapain aja. Telanjang berdua ngapain kenapa disebut pemerkosaan jam 11. Ada ga peristiwa pemerkosaan yang keduanya sama-sama telanjang lalu menunggu 4 jam lalu pemerkosaan terjadi," ujarnya.
Gede pun menyinggung soal peristiwa kedua. Dimana pada peristiwa kedua yakni pukul 2.30 dini hari, korban diajak ke Pondok Puri Plandaan yang jaraknya 30 hingga 40 menit dengan menggunakan kendaraan. Pada peristiwa itu, kata Gede, semua saksi yang disebut sudah membantahnya pada kesaksian di persidangan.
"Peristiwa kedua gak ditanggapi. Gimana jam 2.30 dini hari korban dari pondok ke Puri Plandaan yang jaraknya 30-40 menit kendaraan. Di replik satu pun gak bisa menjelaskan bagaimana si perempuan jam 2.30 ke TKP. Artinya dua peristiwa tidak dijawab," ujarnya.
Gede juga menyinggung saksi testimonium de auditu yang dihadirkan jaksa. Menirutnya, saksi jenis itu dianggapnya sebagai saksi yang telah dikoordinasikan seperti mereka membaca sebuah naskah untuk membangun keyakinan hakim. Artinya, saksi itu dianggap sebagai saksi yang telah didoktrin dan tidak berkesesuaian ceritanya supaya menjadi sama.
"Testimunium de auditu, saksi yang dikoordinasikan seperti mereka membaca sebuah naskah untuk membangun keyakinan hakim, bukan kesaksian yang berkesesuaian. Jadi ini penjelasan doktrin dipakaikan baju LPSK, diajari di luar sidang, saksi begini kan dimintakan untuk menyesatkan hakim," kata Gede.