Senin 13 Mar 2023 16:07 WIB

Pengukuhan Guru Besar, Orasi Ilmiah Prof Imam Yahya Bahas Digitalisasi Agama

Digitalisasi telah mengubah transfigurasi teknologi media dan komunikasi.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Prof Dr Imam Yahya MAg saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Fikih, di di Gedung Tgk. Ismail Yaqub Auditorium 2, Kampus 3 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah, Senin (13/3/2023).
Foto: Dok.Republika
Prof Dr Imam Yahya MAg saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Fikih, di di Gedung Tgk. Ismail Yaqub Auditorium 2, Kampus 3 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah, Senin (13/3/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Peran para ulama dan cendekiawan Muslim yang memahami teknologi digital dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama Islam, dapat membantu umat untuk memahami penggunaan digitalisasi dalam beragama secara benar dan sesuai dengan ajaran Islam.

Sebab, implementasi digitalisasi agama bukan hanya sekadar fenomena transformasi sosial budaya, namun juga menjadi tantangan transformasi bidang keagamaan di era kemajuan teknologi digital seperti sekarang.

Hal ini terungkap dalam orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar Ilmu Fikih bertajuk Fiqh Digital: Implementasi Digitalisasi Agama dalam Fiqh Kontemporer yang disampaikan oleh Prof Imam Yahya di Gedung Tgk Ismail Yaqub Auditorium 2, Kampus 3 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah, Senin (13/3/2023).

Dalam paparannya, Imam menyatakan digitalisasi agama memang memberikan banyak manfaat, seperti memudahkan akses informasi keagamaan, memfasilitasi komunikasi dan interaksi antara umat Islam dari berbagai negara dan budaya serta membantu mempercepat penyebaran dakwah dan pembelaran agama.

Komunikasi antar masyarakat yang semula bersifat komunal, kini berubah menjadi pola komunikasi online. Di mana antar individu bisa menjalin komuniksi intensif tanpa melakukan pertemuan langsung. Di sisi lain, digitalisasi juga bisa menimbulkan konfilk karena hoaks.

Transformasi di bidang keagamaan, lanjutnya, menjadikan aktivitas keagamaan lebih efisien dan efektif. Berbagai kajian keagamaan dan ritual keagamaan sekarang ini marak berlangsung secara online di tengah masyarakat Muslim.

Kajian agama virtual, doa bersama virtual, tahlil virtual, bahkan shalat Jumat virtual menjadi alternatif dalam melakukan berbagai kegiatan keagamaan selama masa pandemi Covid-19 melanda negeri ini.

Termasuk munculnya banyak ulama, kiai atau ustaz virtual, menambah marak kegiatan keagamaan di ranah virtual. “Namun di tengah maraknya penggunaan digitalisasi agama, ada penolakan dari sebagian kaum Muslim terhadap digitalisasi agama yang disinyalir akan mengubah eksistensi agama dan tokoh-tokoh agama,” ungkapnya.

Digitalisasi, lanjut dia, telah mengubah transfigurasi teknologi media dan komunikasi. Digitalisasi dakwah, menjadikan akses pengetahuan keagamaan dengan mudah didapatkan dan dilakukan dengan media sosial.

Aplikasi Alquran akan memudahkan umat dalam mengakses kitab suci, namun hal ini berdampak pada kesakralan kitab suci yang telah bercampur dengan hal-hal profane. “Di mana,  terdapat pesan percakapan di dalam smarthphone yang cenderung vulgar,” kata dia.

Kontroversi terhadap digitalisasi agama, juga akan membawa tiga ancaman yang serius terhadap eksistensi agama. Pertama, agama akan kehilangan otentisitasnya manakala sumber-sumber ajaran Islam dimediakan dalam bentuk digital.

Kedua, ulama atau kiai klasik yang mengajarkan agama secara manual, akan tertinggalkan oleh hingar binger ustaz ustaz milenial, karena kaum Muslim lebih mengenal tokoh agama yang berbasis media digital.

Ketiga, melalui digitalisasi agama, nilai-nilai sakralitas agama akan tergantikan dengan realitas media. Tokoh-tokoh agama seperti ustaz, kiai, dan ulama dalam menerima digitalisasi agama sebagai sebuah solusi problem keagamaan di era pandemi sekarang ini.

Penolakan yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat terjadi akibat digitalisasi agama khususnya pada digitalisasi aspek ibadah mahdoh, seperti shalat Jumat virtual yang dijadikan solusi menghadapi era pandemi.

Sementara beberapa lembaga keagamaan mainstream yang mewakili umat Islam Indonesia, shalat Jumat virtual tidak diperbolehkan secara syar’i. Di samping itu, digitalisasi agama juga akan berimplikasi terhadap eksistensi ritual keagamaan.

Seperti gagasan haji metaverse sebagai ganti ibadah haji. “Dengan demikian, digitalisasi agama justru akan membuat resistensi sosial di tengah umat Islam terhadap perkembangan digitalisasi agama,” tegasnya.

Sementara itu, Rektor UIN Walisongo, Prof Imam Taufiq menyampaikan, Prof Imam Yahya merupakan sosok yang penuh cinta kasih dan merupakan pribadi yang menyenangkan. Kontribusinya terhadap UIN Walisongo juga luar biasa.

Mulai dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Walisongo Semarang tahun 2010-2013, dekan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Walisongo Semarang Tahun 2014-2015, dekan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang 2015-2019, dan direktur RMB UIN Walisongo sampai sekarang.

Rektor juga menyampaikan, Prof Imam Yahya merupakan cendekiawan yang ulung dan memberikan gagasan yang jernih. Ketika semua serba online dan digital, termasuk dalam putusan agama.

“Beliau memberikan gambaran, religion online itu dilakukan karena bagian dari respons kita di dunia digital dan UIN Walisongo ingin memberikan khidmah yang terbaik di tengah dies natalis kali ini,” jelasnya.

Pengukuhan guru besar ini juga dihadiri oleh guru besar dari sejumlah universitas dan tokoh agama, seperti KH Ali Muhlis, KH Ahmad Daroji, KH Ubaidillah Shodaqoh, Ketua Kalam UIN Walisongo Lukman Hakim, dan beberapa masayikh dan kiai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement