Rabu 14 Jun 2023 15:32 WIB

Penerapan ASPD Dinilai tak Jawab Pemerataan Pendidikan

Masih diterapkannya ASPD di DIY merupakan bentuk dari tata kelola yang tidak sinkron.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat dan praktisi pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Nur Rizal menilai penerapan Asesmen Standarisasi Pendidikan Daerah (ASPD) di DIY tidak menjawab untuk pemerataan kualitas pendidikan. Begitu pun dengan meningkatkan kualitas pendidikan, mengingat ASPD masih diterapkan di Kota Pendidikan ini.

"ASPD ini tidak menjawab sebenarnya, apakah itu bisa meningkatkan atau mempertahankan kualitas pendidikan. Tidak (menjawab)," kata Rizal kepada Republika, Rabu (14/6/2023).

Baca Juga

Rizal menuturkan, jika digunakan hanya untuk mempertahankan kualitas pendidikan berdasarkan kemampuan kognitif tingkat rendah dalam hal ini hafalan dan pemahaman, ASPD dapat menjawab kebutuhan tersebut. Namun, berbeda jika ASPD diterapkan dengan tujuan untuk keterampilan berpikir tingkat tinggi (high order thinking).

"Kalau kemampuan mencipta, seperti inovasi, kemampuan untuk menganalisis, (ASPD) itu tidak menjawab karena nanti proses belajarnya hanya menyiapkan ASPD. Kalau untuk kognitif high order thinking yang sangat dibutuhkan di era ke depan, ya tidak menjawab ASPD itu," ungkapnya.

Rizal menuturkan, masih diterapkannya ASPD di DIY merupakan bentuk dari tata kelola yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Ia menilai bahwa masih adanya ASPD juga menunjukkan paradigma pendidikan Kurikulum Merdeka Belajar tidak dipahami secara utuh oleh para pemegang kebijakan.

"Ini bisa terjadi karena kurangnya koordinasi dan komunikasi antar pemerintah pusat dengan pemda, sehingga dalam meluncurkan kurikulum itu belum mengajak bersama untuk melihat tantangan kedepan pendidikan bangsa ini. Koordinasi ini menunjukkan bahwa (adanya) ASPD ini kurangnya pemahaman yang sama dan utuh antara kepentingan pusat dan pemda, dalam hal ini Yogya," ucap Rizal.

"Ini masalah bagaimana aspirasi publik seluruh daerah Indonesia itu bisa ditampung terlebih dahulu, kemudian diolah dan menelurkan kurikulum baru yang memang siap untuk generasi atau tantangan pendidikan kedepan bagi Indonesia. Itu yang tampaknya tidak terjadi," katanya menambahkan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement