Senin 31 Jul 2023 07:42 WIB

Mengenal 'Jolenan’, Tradisi Bersyukur Warga Desa Kemetul Kabupaten Semarang

Kegiatan ini jadi salah satu atraksi budaya yang bisa dijual kepada wisatawan.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
 Kemeriahan tradisi
Foto: Bowo Pribadi
Kemeriahan tradisi

REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Setiap desa yang ada di wilayah Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, memiliki tradisi ‘bersih desa’ atau merti desa dengan bebagai kekhasan serta keunikan masing- masing.

Tradisi yang dilestarikan secara turun temurun ini menjadi potret kearifan lokal warga perdesaan yang masih dapat disaksikan di era modern ini, hingga menjadi salah satu atraksi budaya yang menarik bagi masyarakat di luar desa ini.

Salah satunya adalah Desa Kemetul, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, yang memiliki hajat merti desa dengan menggelar atraksi budaya khas ‘Jolenan’ dan sudah puluhan tahun bertahan secara turun temurun.

Kepala Desa (Kades) Kemetul, Agus Sudibyo mengungkapkan, tradisi merti desa yang dilestarikan di desanya ini disebut dengan 'Jolenan'. Jolenan diambil dari kata ojo kelalen (jangan lupa).

Dalam konteks dan makna spiritual, ini merupakan perwujudan rasa syukur bagaimana masyarakat Desa Kemetul sebagai umat agar senantiasa mengingat dan tidak melupakan Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan berkah.

“Jangan lupa, bahwa kesuburan tanah, hasil bumi yang melimpah, rejeki, kesehatan, kerukunan, dan  ketenteraman di Desa Kemetul merupakan anugerah dan berkah dari Allah SWT," kata Agus Sudibyo, di sela acara tradisi Jolenan, di Desa Kemetul, akhir pecan kemarin.

Maka, jelasnya, sudah semestinya warga Desa Kemetul mensyukuri nikmat yang luar biasa ini dengan berdoa dan memohon semoga di tahun berikutnya senatiasa diberikan limpahan nikmat dan berkah.

Tradisi Jolenan, lanjut Agus, dilaksanakan selama dua hari dan hari pertama selalu jatuh pada Jumat Kliwon setelah panen kretek atau panen musim kemarau, antara Juli, Agustus, dan September.

Khusus pada hari pertama, masyarakat menggelar acara mujahadah dan selamatan dan bermunajat bersama warga satu desa yang siangnya dilanjutkan dengan pentas budaya reog oleh karang taruna Desa Kemetul.

Puncaknya dilaksanakan pada Sabtu dengan tradisi Jolenan. Tradisi ini menampilkan beragam gunungan (jolen) baik hasil bumi, makanan khas, hingga hasil industri rumahan, dalam berbagai kreasi dari Desa Kemetul.

Tidak ketingggalan atraksi budaya yang ditampilkan oleh 19 warga rukun tetangga (RT) yang ada di desa ini. Artinya, setiap RT menampilkan berbagai potensinya masing-masing dan setelah dikirab menuju Balai Desa, aneka ragam hasil bumi yang ditampilkan kemudian ‘disedekahkan’ untuk warga.

Karena animo masyarakat sangat besar, terkadang gunungan atau jolen yang baru dikirab tersebut langsung diserbu dan diperebutkan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. “Tetapi inilah salah satu kemeriahan dari tradisi Jolenan ini,” katanya.      

Sedangkan acara purna dari tradisi merti desa dan jolenan ini, masih jelas Agus, ditandai dengan  pagelaran wayang kulit Sabtu ba’da Zuhur serta Sabtu malam hingga Ahad dini hari (semalam suntuk) di balai desa setempat.

Ini sebagai wujud membangun kebersamaam kebersamaan dan gotongroyong seluruh warga Desa Kemetul. “Alhamdulillah, tradisi ini sudah berlangsung puluhan tahun di desa kami,” ungkapnya.

Unsur pimpinan DPRD Kabupaten Semarang, Muzayinul Arif yang hadir di acara ini, menyampaikan dukungannya agar acara merti desa atau tradisi Jolenan di Desa Kemetul dijadikan sebagai agenda atraksi budaya untuk menarik wisatawan, paling tidak wisatawan lokal.

Menurutnya ini tradisi untuk nguri-uri (melestarikan) kebudayaan yang unik sekaligus menarik. Kaena salah satu indikator kemajuan desa dan bahkan kemajuan negara adalah mampu melestarikan dan menjaga kebudayaannya.

Contoh negara yang behasil dan mampu mempertahankan dan melestarikan kebudayaannya seperti Ukraina dan Azerbaijan, yang mampu menjadi negara maju setelah pecah (memisahkan diri) dari Rusia.

 “Tradisi Jolenan oleh warga Desa kemetul ini juga mengajarkan bagaimana kekuatan dalam menjaga tradisi dan budayanya mampu membangun bersamaan dan kemajuan desa,” kata Muzayinul.

Ia mendorong agar tradisi budaya dua hari ini bisa dikemas sedemikian rupa menjadi salah satu atraksi budaya yang bisa dijual kepada wisatawan. Karena dukungan dan keterlibatan warganya sangat luar biasa hingga tradisi ini selalu menarik perhatian masyarakat dari luar Desa Kemetul.

“Atraksi budayanya kan sudah menarik, mungkin perlu ditambah dengan fasilitas lain seperti homestay dan sarana pendukung lain, sehingga wisatawan yang didatangkan untuk menikmati agenda budaya selama dua hari juga semakin nyaman,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement