Jumat 11 Aug 2023 09:08 WIB

Sejarah Perang Geger Sepehi: Saksi Bisu Jatuhnya Keraton Yogyakarta

Perang Sepehi mengakibatkan jatuhnya Keraton Yogyakarta pada 1800-an.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
Pekerja mengerjakan proyek revitalisasi Pojok Beteng Keraton Yogyakarta.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pekerja mengerjakan proyek revitalisasi Pojok Beteng Keraton Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Lokasi penemuan diduga kerangka manusia di galian proyek revitalisasi Benteng Keraton Yogyakarta dimungkinkan pernah menjadi area bekas dari perang Geger Sepehi. Di lokasi itu juga diduga ada tumpukan mayat-mayat bekas dari perang tersebut.

Meski, Dinas Kebudayaan DIY menyatakan bahwa temuan diduga kerangka manusia pada Senin (7/8/2023) itu harus diteliti lebih lanjut guna memastikan temuan itu merupakan mayat dari perang Geger Sepehi. Saat ini, kerangka tersebut masih diteliti di RS Bhayangkara.

Dilansir dari keterangan resmi Keraton Yogyakarta yang diterima Republika, Kamis (10/82023), perang Geger Sepehi mengakibatkan jatuhnya Keraton Yogyakarta pada 1800-an. Pihak Keraton Yogyakarta pun menjelaskan terkait terjadinya perang Geger Sepehi.

Kurun waktu 1808 hingga 1812, merupakan tahun-tahun yang banyak mengubah wajah Yogyakarta. Gelombang revolusi Prancis diikuti oleh masa 'peperangan era Napoleon'.

Kecamuk di Eropa tersebut membawa dampak tak terlupakan bagi salah satu kerajaan Jawa yang ada pada masa itu yakni Kesultanan Yogyakarta. Setelah Kerajaan Belanda jatuh ke tangan Prancis, Bataafsche Republiek yang berkuasa di Nusantara dihapus dan digantikan dengan Koninkrijk Holland di bawah pimpinan Raja Louis Napoleon Bonaparte.

 

Latar belakang Geger Sepehi

Karena Prancis dan Kerajaan Belanda sedang menghadapi Inggris, maka Napoleon mencari orang yang cakap untuk menjadi Gubernur Jendral di Jawa, dan jatuhlah pilihannya pada Daendels. Tugas utamanya adalah mempertahankan Pulau Jawa agar jangan sampai jatuh ke tangan Inggris.

Dari serangkaian kebijakan Daendels, efek yang paling dirasakan oleh penduduk adalah hilangnya hak-hak mereka. Tanah-tanah yang diambil alih pemerintah kolonial, kemudian disewakan ke partikelir-partikelir lokal, sehingga akhirnya rakyat berubah status menjadi buruh tani, buruh industri, maupun buruh perkebunan.

Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1810, 1811-1812, 1826-1828) menentang aturan-aturan baru yang diterapkan oleh Daendels. Penentangan ini dijawab dengan pengiriman pasukan Belanda ke Yogyakarta, menekan Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk menyerahkan kekuasaan pada Putra Mahkota.

Meski demikian, Sri Sultan Hamengku Buwono II yang kemudian disebut sebagai Sultan Sepuh, masih tinggal di Keraton dan memegang segel kerajaan.

"Pada Mei 1811, Daendels digantikan posisinya sebagai Gubernur Jendral oleh Jan Willem Janssens. Pada tanggal 4 Agustus 1811, bala tentara Inggris menyerbu Batavia. Jawa akhirnya jatuh ke tangan Inggris," bunyi keterangan resmi Keraton Yogyakarta dari Humas Keraton Yogyakarta, Vinia R Prima.

Perpindahan kekuasaan ini mengakibatkan Pulau Jawa menjadi bagian dari koloni Inggris yang berpusat di Kalkuta. Gubernur Jenderal Inggris di Kalkuta, Lord Minto, kemudian menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur di Jawa.

Melihat perubahan ini, Sultan Sepuh memanfaatkan situasi itu untuk mengambil alih kembali kekuasaan atas kerajaan. Raffles pun kemudian segera membuat kebijakan-kebijakan baru dan pada bulan November 1811 menunjuk John Crawfurd sebagai Residen Yogyakarta.

Kebijakan Raffles terkait pertanahan dan pengelolaan keuangan, ternyata tidak jauh berbeda dengan kebijakan Daendels. Hal ini membuat Sri Sultan Hamengku Buwono II tidak berkenan. Sikap penentangan mulai muncul, bahkan ia menghimpun kekuatan secara terang-terangan.

Raffles melihat hal tersebut sebagai ancaman. Hingga kemudian mengirim pasukan di bawah pimpinan Colonel Robert Rollo Gillespie menyerang Yogyakarta.

Jatuhnya Keraton Yogyakarta

Pada 17 Juni 1812 malam, pasukan Inggris mulai memasuki Yogyakarta. Namun pasukan Yogyakarta berhasil melukai dan menghalau bala tentara Inggris. Keesokan harinya Inggris mengirim utusan untuk bernegosiasi dengan Sri Sultan Hamengku Buwono II, namun utusan tersebut ditolak.

Sekembalinya utusan tersebut ke pasukan Inggris, api peperangan pun mulai berkobar. Tembakan meriam terdengar dari arah Keraton Yogyakarta, menandakan sikap tidak mau kompromi dari Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Situasi Keraton kala itu digambarkan oleh Mayor William Thorn, seorang prajurit yang tergabung dalam pasukan Inggris, sebagai benteng pertahanan yang kokoh. Di sekeliling Keraton terdapat parit-parit lebar dan dalam, dengan jembatan yang bisa diangkat sebagai pintu akses masuknya.

Terdapat pula beberapa bastions tebal yang dilengkapi dengan meriam. Tembok-tembok tebal yang mengelilingi halaman-halaman istana dilengkapi dengan prajurit bersenjata. Pintu utama menuju Keraton juga dilengkapi dengan dua baris meriam.

William Thorn mencatat setidaknya ada 17 ribu prajurit dan ratusan warga bersenjata tersebar di kampung-kampung, mempertahankan wilayah Yogyakarta. Serangan-serangan kecil terus berlangsung hingga 19 Juni 1812 pukul 21.00.

Setelah itu, kondisi Yogyakarta kembali senyap, tidak ada lagi ledakan-ledakan meriam dan suara tembakan. Dini hari pada 20 Juni 1812, meriam-meriam Inggris kembali menyalak. Serangan meriam ini mengarah ke Alun-alun Utara, tepat ke arah pintu masuk Keraton.

Aksi serangan besar-besaran kemudian menyusul pada pukul 05.00 pagi. Pasukan Inggris yang terdiri dari tentara Eropa dan pasukan Sepoy (India), dibantu pasukan dari Legiun Mangkunegaran, menyerang Keraton Yogyakarta.

Kekuatan utama serangan pasukan Inggris diarahkan ke sisi timur laut benteng. Dalam Babad Sepehi disebutkan bagian ini tidaklah terjaga kuat. Serangan tidak berjalan terlalu lama, hanya beberapa jam saja sudut benteng ini runtuh dengan diawali meledaknya meriam dan gudang mesiu.

Sekitar pukul 08.00 pagi, benteng benar-benar jatuh ke tangan pasukan Inggris. Segera setelah benteng ini direbut, pasukan Sepoy mengarahkan seluruh meriam ke arah Keraton Yogyakarta.

Serangan ini kemudian disusul dengan masuknya pasukan dari arah Gerbang/Plengkung Nirbaya yang berhasil dikuasai. Sri Sultan Hamengku Buwono II kemudian menyerah ketika pasukan Inggris berhasil masuk ke Plataran Srimanganti.

Kerugian usai Geger Sepehi

Setelah peristiwa ini, Keraton mengalami kerugian besar. Tidak hanya kekayaan materi yang dijarah, namun juga kekayaan intelektual. Ribuan naskah dari perpustakaan Keraton dijarah.

Raffles kemudian memanfaatkan pengetahuan dan wawasan Pangeran Natakusuma di bidang sastra untuk memilah dan menginventarisasi naskah-naskah tersebut sebelum dibawa ke Inggris.

Pada masa ini pula, Pangeran Natakusuma diberikan status sebagai pangeran merdeka dan memiliki wilayah sendiri. Pangeran Natakusuma diberikan tanah seluas 4,000 cacah yang diambil dari wilayah Yogyakarta, dan kemudian memperoleh gelar Pangeran Pakualam I.

Wilayahnya setingkat kadipaten dan dinamakan Pakualaman. Sri Sultan Hamengku Buwono II kemudian diasingkan ke Penang. Pada 1 Agustus 1812, Pemerintah Inggris memaksa Keraton Yogyakarta dan Surakarta untuk menandatangani perjanjian yang sangat merugikan bangsawan-bangsawan Jawa.

Perjanjian tersebut memangkas kekuatan militer kerajaan sampai sebatas yang diizinkan Inggris. Beberapa wilayah mancanegara dan negara agung, seperti Japan (Mojokerto), Jipang, dan Grobogan, diambil paksa, sehingga membuat para pejabat yang memerintah di sana kehilangan jabatan dan penghasilan.

Pengelolaan gerbang-gerbang cukai jalan dan pasar juga diserahkan kepada Inggris, ini tidak hanya menghilangkan pendapatan dari pungutan tapi juga membuat perdagangan dikuasai oleh pihak asing.

Selain itu, Inggris juga menetapkan bahwa semua orang asing dan orang Jawa yang lahir di luar wilayah kerajaan berada dalam hukum kolonial. Mereka tidak lagi dapat diadili di bawah hukum Jawa-Islam.

Kebijakan-kebijakan tersebut membuat pergolakan besar dalam masyarakat Jawa. Ketidakpuasan dan rasa kekecewaaan inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu Perang Jawa (1825-1830).

Geger Sepehi tidak hanya sebuah sejarah kekalahan yang meruntuhkan kewibawaan, namun juga menjadi tonggak lahirnya tata dunia baru di tanah Mataram yang akibat-akibatnya masih dapat terus dirasakan hingga kini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement