Senin 28 Aug 2023 16:04 WIB

Pengelolaan Sampah Terkendala Lahan, DLH Yogya Usul Beli Alat Pembakar Sampah

Pengelolaan sampah dari tingkat hulu saja belum bisa mengurangi volume sampah.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
Bungkusan sampah warga mulai menumpuk di salah satu titik luar Pasar Beringharjo, Yogyakarta (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Bungkusan sampah warga mulai menumpuk di salah satu titik luar Pasar Beringharjo, Yogyakarta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta mengusulkan untuk membeli alat pembakar sampah (incinerator) guna mengatasi permasalahan sampah. Usulan ini masih dalam pembahasan antara Pemkot Yogyakarta dengan DPRD Kota Yogyakarta.

"Proses pengusulan masih tahap pra RKA (rencana kerja dan anggaran), sekarang masih menunggu agenda dibahas oleh DPRD Kota Yogyakarta," kata Sub Koordinator Kelompok Substansi Penanganan Persampahan, DLH Kota Yogyakarta, Mareta Hexa Sevana kepada Republika.co.id, Senin (28/8/2023).

Mareta mengatakan, pengusulan untuk membeli alat pembakar sampah ini dengan mempertimbangkan adanya target pengurangan volume sampah di Kota Yogyakarta. Terlebih, sejak ditutupnya TPA Regional Piyungan pada Juli hingga September 2023 nanti.

Penutupan TPA Piyungan tidak dilakukan di seluruh zona. Khusus untuk zona transisi 1 masih beroperasi secara terbatas, dengan maksimal hanya bisa menampung 100 ton sampah per hari khusus untuk Kota Yogyakarta.

Pengusulan alat pembakar sampah ini, kata Mareta, juga dikarenakan adanya pembatasan kuota sampah yang masuk ke TPA Piyungan. "Pertimbangannya (mengusulkan alat pembakar sampah) karena ada target pengurangan sampah dan pembatasan kuota jenis sampah yang boleh masuk ke TPA (Piyungan) pada masa darurat," kata Mareta.

DLH Kota Yogyakarta memprediksikan ke depannya kondisi darurat di TPA Piyungan akan berlangsung lebih lama. Hal ini juga mengingat TPA Piyungan yang sudah kelebihan kapasitas, sementara untuk zona transisi 2 saat ini masih dipersiapkan.

Meski zona transisi 2 ini nantinya beroperasi, juga diperkirakan hanya dapat bertahan sekitar enam bulan. Untuk itu, teknologi pembakar sampah ini diperlukan di Kota Yogyakarta, mengingat wilayah ini tidak memiliki lahan yang cukup untuk mengelola sampah.

"Sehingga harus ada support alat atau mesin pemusnahan sampah, untuk mengurangi timbulan jenis residu yang biasanya seluruhnya terbuang ke TPA Piyungan supaya bisa dikurangi tonasenya," ujarnya.

Mareta juga menekankan bahwa pengelolaan sampah dari tingkat hulu saja belum bisa mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA Piyungan secara signifikan. Upaya dari hulu ini harus dikombinasikan dengan alat atau teknologi agar permasalahan sampah di Kota Yogyakarta dapat diatasi.

"Sehingga, jika upaya yang dilakukan hanya di sektor hulu, yakni pemilahan/pemanfaatan/penggunaan kembali dari sumbernya, tetapi tidak bisa optimal dalam mengurangi jumlah sampah yang berakhir ke TPA Piyungan," kata Mareta.

Di Kota Yogyakarta sendiri, berbagai program untuk mengatasi masalah sampah dari hulu terus digencarkan. Seperti Gerakan Mengolah Limbah dan Sampah dengan Biopori Ala Jogja (Mbah Dirjo) dan Gerakan Zero Sampah Anorganik.

Penjabat (Pj) Wali Kota Yogyakarta, Singgih Raharjo justru menyebut sebelumnya bahwa volume sampah yang dibawa ke TPA Piyungan mengalami penurunan. Ia menyebut, penurunan ini terjadi karena Gerakan Mbah Dirjo yang terus digencarkan.

Program ini dilakukan bersama masyarakat, yang mana ASN juga diwajibkan untuk melaksanakan gerakan tersebut. Singgih menuturkan, data DLH Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa pada awal gerakan tersebut dicanangkan, volume sampah yang dihasilkan Kota Yogyakarta bisa mencapai 100-130 ton per hari.

Namun tidak seluruhnya dibawa ke TPA Piyungan karena dibatasi maksimal 100 ton per hari. Dengan begitu, Pemkot Yogyakarta juga bekerja sama dengan Pemkab Kulonprogo. Setidaknya, sekitar 15 ton sampah per hari yang dibawa ke Kulonprogo.

Namun, sejak diterapkannya Gerakan Mbah Dirjo ini, volume sampah yang terus mengalami penurunan. Bahkan, pihaknya mencatat terjadi penurunan sampah yang dibawa ke TPA Piyungan. yakni menjadi 95 ton per hari.

“Ini (sampah) yang ke Piyungan kemarin menurun sampai 95 ton. Ini salah satunya keberhasilan dari program Mbah Dirjo. Artinya, sampah yang diproduksi dari masyarakat berkurang,” kata Singgih.

Tidak hanya Pemkot Yogyakarta, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY juga berencana untuk membeli teknologi pengolahan sampah yang pengadaannya dilakukan pada 2024 mendatang. Pengadaannya sendiri rencananya dilakukan dengan mengajukan pinjaman daerah ke BPD DIY sebesar Rp 100 miliar.

"Di 2024 itu mencoba untuk (pengolahan sampah) digagas dengan teknologi, itu rencananya pakai (cara) RDF (refuse derived fuel), pengeringan. Jadi itu seperti incinerator itu loh," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY, Kuncoro Cahyo Aji kepada Republika belum lama ini.

Kuncoro menuturkan, pengadaan alat ini digagas sembari menunggu selesainya tahapan dari Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan digunakannya zona transisi 2 TPA Regional Piyungan. Zona transisi 2 TPA Piyungan juga masih dipersiapkan, dan diperkirakan baru dapat digunakan pada Oktober 2023 dengan waktu penggunaan dimungkinkan hanya bisa sekitar enam bulan.

"Untuk teknologi itu kan (pengadaannya) sambil menunggu KPBU dan transisi 2 (TPA Piyungan). Kemungkinan juga (zona transisi 2) tidak (bisa digunakan) terlalu lama, sehingga di 2024 itu (pengolahan sampah) mencoba untuk digagas dengan teknologi," ujar Kuncoro.

Untuk itu, pihaknya tetap mendorong masyarakat untuk mengolah sampah dari hulu. Dengan begitu, sampah yang masuk ke TPA Piyungan akan semakin berkurang, meski saat ini TPA Piyungan hanya menerima sampah terbatas dari Kota Yogyakarta mengingat zona lainnya ditutup hingga September 2023.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement