Jumat 20 Oct 2023 19:07 WIB

Kuasa Hukum: Putusan Hakim Soal Kasus Mafia TKD di Sleman tak Penuhi Rasa Keadilan 

Majelis hakim PN Yogyakarta menjatuhkan vonis delapan tahun kurungan kepada Robinson.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
irut PT Deztama Putri Sentosa, Robinson Saalino yang merupakan mafia penyalahgunaan TKD di Kelurahan Caturtunggal dalam sidang pembacaan putusan di PN Yogyakarta, Kamis (19/10/2023).
Foto: Humas Kejati DIY
irut PT Deztama Putri Sentosa, Robinson Saalino yang merupakan mafia penyalahgunaan TKD di Kelurahan Caturtunggal dalam sidang pembacaan putusan di PN Yogyakarta, Kamis (19/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Direktur Utama PT Deztama Putri Sentosa, Robinson Saalino melalui tim kuasa hukumnya mengatakan bahwa vonis yang dijatuhkan majelis hakim dalam sidang pembacaan putusan pada Kamis (19/10/2023) kemarin terkait kasus mafia tanah kas desa (TKD) tidak memenuhi rasa keadilan. 

Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta menjatuhkan vonis delapan tahun kurungan penjara kepada Robinson atas korupsi penyalahgunaan TKD di Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Vonis tersebut sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). 

Baca Juga

"Ini jelas tidak memenuhi rasa keadilan dalam konteks penegakan hukum klien kami (Robinson)," kata salah satu penasihat hukum Robinson, Agung Pamula Ariyanto kepada Republika, Jumat (20/10/2023). 

Hakim juga menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp 400 juta subsider empat bulan kurungan, yang mana hukuman denda ini justru lebih besar dari yang disampaikan JPU di sidang sebelumnya yakni Rp 300 juta. Tidak hanya itu, Robinson juga dijatuhi vonis pidana tambahan dengan membayar uang pengganti sebesar Rp 16.073.060.900. 

Jumlah uang pengganti tersebut naik dari tuntutan JPU sebelumnya yakni Rp 2.952.002.940. Meski begitu, dalam sidang pembacaan vonis yang dilakukan ini majelis hakim tidak mengabulkan tuntutan JPU terkait perampasan aset Robinson yang merupakan hasil tindak pidana korupsi untuk diserahkan kepada negara.

Pasalnya, JPU sebelumnya menuntut agar majelis hakim menetapkan perampasan aset milik Robinson kepada negara dari hasil tindak pidana korupsi berupa keuntungan yang diambil dari pemanfaatan TKD di Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY tanpa izin dari Gubernur DIY. 

Aset tersebut yakni berupa keuntungan yang diambil Robinson dari pemanfaatan TKD tanpa izin untuk rumah tinggal/tanah kavling selama 20 tahun sebesar Rp 16.073.060.900. Atas putusan majelis hakim dalam sidang pembacaan putusan tersebut, dari pihak JPU juga menyatakan pikir-pikir.

Robinson sebelumnya didakwa telah merugikan negara karena menunggak sewa TKD sejak 2018 sebesar Rp 2,9 miliar dalam perbuatannya menyalahgunakan TKD di Caturtunggal. Bahkan, dalam dakwaan JPU dikatakan bahwa Robinson menerima uang sebesar Rp 29 miliar dari hasil penyalahgunaan TKD tersebut. 

JPU menyebut Robinson menerima lebih dari Rp 29 miliar terkait TKD yang dialihfungsikan sebagai lahan hunian di Caturtunggal. Dikatakan, dari uang Rp 29 miliar tersebut digunakan Robinson untuk melakukan pembangunan di atas lahan TKD senilai Rp 9,6 miliar.

"Kami melihatnya tidak dari sudut pandang naiknya (vonis tambahan membayar uang pengganti) dari Rp 2,9 miliar di JPU menjadi Rp 16 miliar itu. Kami malah melihat dari sudut pandang yang menurut kami positif. Disini terlihat sebenarnya hakim itu menyatakan secara langsung bahwa kerugian negara yang dihitung JPU melalui inspektorat itu tidak terbukti, sehingga hakim merasa perlu untuk melakukan logika penghitungan sendiri," ungkap Agung. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement