REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Amikom Yogyakarta merancang teknologi untuk pengelolaan kebakaran hutan, sebagai bagian dari proyek Silvanus. Silvanus sendiri merupakan sebuah konsorsium internasional yang melibatkan 49 institusi dari 18 negara, di mana 15 negara di antaranya berada di Eropa dan tiga lainnya merupakan Indonesia, Brazil, serta Australia.
Direktur Pascasarjana Universitas Amikom Yogyakarta, Kusrini mengatakan, dalam konsorsium ini dikerjakan sebuah proyek kerja sama untuk membangun sistem terintegrasi dalam pengelolaan kebakaran hutan. Ada 12 pilot project di 11 negara, salah satunya di Indonesia dalam menjalankan proyek kerja sama ini.
Proyek kerja sama dalam membangun sistem terintegrasi terkait pengelolaan kebakaran hutan ini dilakukan selama empat tahun yakni sejak Oktober 2021 hingga Maret 2025 mendatang. Di Indonesia, hutan yang dijadikan sebagai pilot project yakni hutan gambut Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
"(Saat) Ini sebenarnya pertengahan proyek, kami sudah punya design (teknologinya) walaupun belum sempurna. Ini akhirnya yang kemarin kita presentasikan, kita tunjukkan ke mereka (konsorsium) dan kita menginginkan feedback, apakah ini sesuai dengan apa yang dibutuhkan di Indonesia atau ada hal-hal spesifik lagi yang harus ditambahkan," kata Kusrini saat ditemui di sela-sela agenda The Silvanus Indonesia Pilot Visit 2023 di Universitas Amikom Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Jumat (10/11/2023) malam.
Dijelaskan, dijadikannya Taman Nasional Sebangau menjadi pilot project karena merupakan salah satu hutan gambut terbesar di Indonesia. Hutan yang dikelola oleh pemerintah tersebut, kata Kusrini, dikarenakan menjadi representasi dan salah satu kekayaan alam di Indonesia.
"Hutan paling besar di Indonesia itu itu hutan gambut, di mana hutan gambut ini memiliki kekuatan yang luar biasa yang mereka bisa menyerap karbon 20 sampai 80-an kali dibanding hutan yang biasa, sehingga ini menjadi salah satu kekayaan di Indonesia. Kenapa di sana (Sebangau), karena ini salah satu kawasan yang dikelola pemerintah, jadi representatif, datanya ada, kemudian bisa juga kita ajak kerja sama," jelasnya.
Perwakilan dari beberapa institusi yang terlibat dalam proyek Silvanus ini juga sudah melakukan kunjungan ke Taman Nasional Sebangau sebagai hutan yang menjadi percontohan. Kunjungan tersebut dilakukan pada 7 November 2023 kemarin.
Kusrini menuturkan, kunjungan ke Taman Nasional Sebangau dilakukan untuk melihat kondisi kebakaran hutan di kawasan tersebut, dan mempelajari seperti apa pengelolaan kebakaran hutan yang dilakukan. Selain itu, dari kunjungan ini juga bertujuan untuk mengetahui apa yang dibutuhkan dalam pengelolaan hutan.
"Kemarin kami ke Sebangau untuk melihat landscape hutan di Indonesia itu seperti apa, yang mestinya berbeda sekali yang ada di Eropa. Kita mengunjungi hutan itu untuk mengetahui kebutuhan, selain melihat tempatnya juga bertemu dengan masyarakat. Kita ingin tahu apa yang dibutuhkan Indonesia untuk mengelola kebakaran hutan, sehingga konsorsium ini bisa membantu menyediakan teknologi yang sesuai," kata Kusrini.
"Kunjungan ini tujuannya melihat real kondisi di lapangan, supaya tercipta solusi yang tepat, dan juga kita presentasikan prototipe (teknologi) yang kita punya untuk kemudian bisa mendapatkan feedback," tambahnya.
Diharapkan, dari kunjungan tersebut tidak hanya menghasilkan teknologi bagi negara yang terlibat dalam proyek Silvanus ini dalam pengelolaan kebakaran hutan. Namun, juga diharapkan dapat menjadi best practices bagi masing-masing negara dalam mengelola hutannya.
Terlebih, kondisi kebakaran hutan di Indonesia juga cukup tinggi terutama pada masa El Nino yang rata-rata terjadi empat tahun sekali. Di Sebangau, katanya, pernah terjadi kebakaran hutan yang masif saat El Nino di 2015, dan berulang pada 2019.
Di 2023 ini juga diprediksi akan terjadi kebakaran hutan yang masif, namun dampaknya dapat ditekan. Menurut Kusrini, bagaimana mengantisipasi dampak dari kebakaran hutan tersebut dapat menjadi contoh yang baik bagi negara-negara yang terlibat dalam proyek Silvanus ini.
"Diprediksi tahun ini juga sama (terjadi kebakaran hutan), tapi alhamdulillah program pemerintah untuk mengantisipasi itu sudah luar biasa, sehingga dampaknya bisa ditekan. Ini menjadi contoh baik yang bisa kita ceritakan dari Indonesia kepada teman-teman yang ada di konsorsium ini, sehingga bisa menjadi best practise seperti apa Indonesia dalam mengelola kebakaran hutan," katanya.
Scientific Managers Proyek Silvanus dari Jerman, Krishna Chandramouli mengatakan, proyek ini didanai oleh European Commission sebesar 24 juta Euro atau setara dengan sekitar Rp 400 miliar.
Dari kunjungan yang dilakukan ke Sebangau, Krishna menyebut hutan itu sangat representatif untuk mempelajari terkait bagaimana pengelolaan kebakaran hutan. Hal ini juga dalam rangka mempelajari terkait masalah perubahan iklim yang terjadi saat ini.
"Sebangau merupakan hutan yang sangat besar dan luar biasa, sesuatu yang bagus untuk kita pelajari. Sesuatu hal yang baik kita datang ke sini untuk belajar, dan bisa membagikan pengetahuan kepada pilot project di negara lain. Kita bisa berbagi pengetahuan, dan kami memiliki 12 pilot project di 11 negara," kata Krishna.
Dari proyek Silvanus ini, dikatakan hasil utama atau outputnya adalah peluncuran platform pengelolaan hutan yang tahan terhadap perubahan iklim dalam rangka mencegah dan memadamkan kebakaran hutan.
Silvanus mengandalkan para ahli ilmu lingkungan, teknis dan sosial untuk mendukung otoritas regional dan nasional yang bertanggung jawab atas pengelolaan kebakaran hutan di negara masing-masing.
Para ilmuwan dan insinyur peneliti Silvanus, katanya, akan membantu otoritas perlindungan sipil untuk memantau sumber daya hutan secara efisien.
Termasuk mengevaluasi keanekaragaman hayati, menghasilkan indikator risiko kebakaran yang lebih akurat, dan mempromosikan peraturan keselamatan di antara penduduk setempat yang terkena dampak kebakaran hutan melalui kampanye kesadaran.