Ahad 14 Jan 2024 06:55 WIB

Penyalahgunaan Napza Bisa Jadi Penyebab Mutilasi, Bullying, dan Kriminalitas Lain

Kasus mutilasi yang diselidiki tidak hanya berhubungan dengan kesehatan jiwa.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Spesialis forensik dan medikolegal, AKBP dr. D. Aji Kadarmo (tengah) dan perwakilan BNN DIY, Febriana Kusuma Dian Mayasari (kanan) dalam seminar Problematika Kesehatan Jiwa Terkini: Mutilasi, Bullying, dan Kriminalitas dengan Penyalahgunaan Napza, serta Penulisan Surat Keterangan Sehat Jiwa yang digelar di Hotel Tentrem Yogyakarta, Kabupaten Sleman, DIY, Sabtu (13/1/2024).
Foto: Republika/Silvy Dian Setiawan
Spesialis forensik dan medikolegal, AKBP dr. D. Aji Kadarmo (tengah) dan perwakilan BNN DIY, Febriana Kusuma Dian Mayasari (kanan) dalam seminar Problematika Kesehatan Jiwa Terkini: Mutilasi, Bullying, dan Kriminalitas dengan Penyalahgunaan Napza, serta Penulisan Surat Keterangan Sehat Jiwa yang digelar di Hotel Tentrem Yogyakarta, Kabupaten Sleman, DIY, Sabtu (13/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kasus pembunuhan disertai mutilasi, bullying, dan kriminalitas dalam beberapa tahun belakangan ini ditemukan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia khususnya Provinsi DIY. Bahkan, seseorang melakukan mutilasi maupun bullying, salah satunya bisa dikarenakan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya baik zat alami atau sintetis (napza).

Hubungan mutilasi dan bullying dengan penyalahgunaan napza ini diungkapkan dalam seminar 'Problematika Kesehatan Jiwa Terkini: Mutilasi, Bullying, dan Kriminalitas dengan Penyalahgunaan Napza, serta Penulisan Surat Keterangan Sehat Jiwa' yang digelar di Hotel Tentrem Yogyakarta, Kabupaten Sleman, DIY, Sabtu (13/1/2024).

Seminar ini diisi oleh berbagai narasumber, seperti spesialis forensik medikolegal media forensik kolegial, AKBP dr D Aji Kadarmo. Selain itu juga Febriana Kusuma Dian Mayasari dari BNN DIY, Natalia Widiasih Raharjanti, dan keynote speaker Soewadi.  

Aji menuturkan bahwa dalam 20 tahun terakhir di Indonesia setidaknya sudah ditelusuri adanya 42 kasus pembunuhan yang disertai dengan mutilasi. Bahkan, di DIY juga ada dua kasus mutilasi yang menonjol selama 2023 lalu, termasuk di Jawa Tengah.

"Mutilasi dilakukan salah satunya dalam rangka menghilangkan jejak," kata Aji dalam seminar tersebut.

Bahkan, Aji menyebut di beberapa kasus mutilasi yang diselidiki tidak hanya berhubungan dengan kesehatan jiwa. Namun, juga berkaitan erat dengan penggunaan napza.

"Ada kasus mutilasi yang (tipe) ofensif, dimana tujuan mutilasi untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan cara (si pelaku) menyakiti (korban). Ini berhubungan erat dengan gangguan jiwa dan ada riwayat psikotropika dan penggunaan napza untuk tipe (mutilasi) yang seperti ini," ucap Aji.

Selain itu, juga ada tipe criminal mutilation yang juga bisa dikarenakan adanya penyalahgunaan napza. Untuk tipe mutilasi ini, dikatakan Aji bahwa belum banyak ditemukan kasusnya di Indonesia.

"Criminal mutilation yang berhubungan dengan penggunaan napza ini di Yogya ada, tapi jarang, sangat sedikit kasusnya, di Yogya ada satu kasus," ungkap Aji.

Meski begitu, dari kasus-kasus mutilasi yang diselidiki, Aji mengaku tidak mudah untuk membuktikan ada keterkaitan dengan penggunaan napza terhadap pelaku maupun korban. Terutama pada korban mengingat sudah dimutilasi.

Disampaikan Aji bahwa dari kasus mutilasi yang diselidiki, pihak berwajib dalam hal ini kepolisian lebih banyak mempertimbangkan tindakan kriminal mutilasi yang dilakukan pelaku. Dengan begitu, tidak terlalu mempertimbangkan adanya penyalahgunaan napza atau tidak.

"Dari sisi korban juga sangat sulit sekali untuk membuktikan (adanya) penggunaan napza karena kondisinya dia sudah membusuk, terpotong-potong, dan tidak tahu kemana (bagian tubuh lainnya). Kalau kita ambil untuk pembuktian adanya penyalahgunaan napza ini juga akan sulit," kata Aji.

Febriana juga menyebut bahwa penyalahgunaan napza ini di Indonesia sudah mengkhawatirkan, termasuk di DIY. Penyalahgunaan napza ini banyak terjadi di kalangan pelajar hingga mahasiswa, sedangkan DIY sendiri dikenal sebagai Kota Pelajar.

"Prevalensi penyalahgunaan narkoba di DIY 2,3 persen atau setara dengan 18 ribu lebih penduduk yang menggunakan narkoba usia 16 sampai 24 tahun. DIY menjadi lima tertinggi secara nasional terkait penyalahgunaan narkotika. Di tingkat remaja, narkoba banyak didapatkan dari teman, paling banyak pemakaian dilakukan di rumah atau tempat tinggalnya masing-masing seperti kos hingga asrama," kata Febriana.

Disampaikan Febriana bahwa pelajar dan mahasiswa berisiko tinggi berkaitan dengan penyalahgunaan napza ini. Bahkan, napza dapat diakses dengan mudah di lingkungan pertemanan.

"Saat ini akses untuk mendapatkan narkotika juga sangat mudah dibandingkan 10 tahun lalu atau 15 tahun lalu. Sekarang narkotika sudah bisa didapatkan via online tanpa bertemu dengan penjualnya, yang dia bisa janjian tidak ketemu atau diletakkan di suatu tempat, sehingga nanti diambil (oleh pembeli)," ucapnya.

Selain akses untuk mendapatkan napza ini mudah, harganya juga bervariasi. Bahkan, kata Febriana, harganya pun ada yang dijual murah, sehingga peredaran napza ini dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Febriana pun mengatakan bahwa penyalahgunaan napza ini juga bisa meningkatkan terjadinya kasus-kasus bullying di kalangan pelajar hingga mahasiswa. Sebab, di beberapa penelitian ditemukan bahwa kasus bullying yang berhubungan dengan penyalahgunaan napza.

"Ada hubungan bullying dengan penggunaan obat-obat terlarang dari berbagai riset. Kondisi di DIY memang belum terlalu banyak hubungan narkotika dengan bullying (meski ada yang berhubungan). (Di DIY) Mayoritas pelaku bullying dari kalangan pelajar yang memiliki hubungan tidak harmonis dengan orang tuanya, begitu juga dengan pelajar yang pernah menggunakan narkoba (ada ditemukan terjadinya kasus bullying)," jelas Febriana.

Sementara itu, Ketua Panitia seminar Ronny Tri Wirasto juga menyebut bahwa isu-isu berkaitan dengan mutilasi, bullying, dan kriminalitas kaitannya dengan penyalahgunaan napza ini perlu diangkat. Hal ini mengingat kasus-kasus tersebut masih banyak ditemukan di Indonesia.

"Sebenarnya ada hal yang perlu kita ketahui bersama bahwa ada background yang terjadi kenapa sekarang orang melukai orang itu sampai membunuh orang lain dimana itu perlu suatu energi yang cukup besar, sampai ini memutilasi dan ini terjadi dimana-mana. Ini perlu diketahui masyarakat dari sudut pandang kesehatan mental," kata Ronny kepada Republika di sela-sela seminar.

Melalui seminar tersebut diharapkan masyarakat paham dengan permasalahan yang terjadi. Selain itu, diharapkan angka kejahatan khususnya yang berhubungan dengan penggunaan napza bisa ditekan di Indonesia.

"Kalau kita bisa melihat dari kejadian yang ada ya, diharapkan angkanya turun. Tapi ini kan jangka panjang dan program besar, bukan hanya (selesai) sekedar seminar (saja). Makanya kita juga menggandeng instansi lain seperti dinas kesehatan hingga Kemenag, dan dinas sosial, sehingga diharapkan program-program yang dilakukan di instansi itu menjadi suatu yang terintegrasi kalau sudah punya pemahaman yang sama," jelas Ronny.

Seminar diselenggarakan oleh Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, bekerja sama dengan Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Cabang Yogyakarta, dan Pusat Studi Napza UII. Menjadi keynote speaker pada seminar tersebut adalah Prof H Soewadi dengan pidato berjudul 'Stigma pada Gangguan Jiwa di tahun 2024'.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement