Oleh : Wantonoro, PhD (Dosen Keperawatan UNISA Yogyakarta)
REPUBLIKA.CO.ID, Konsep palliative care (perawatan paliatif) digambarkan sebagai suatu pendekatan untuk meringankan penderitaan fisik dan psikologis serta meningkatkan kualitas hidup individu (dan keluarga) yang telah terdiagnosa penyakit yang diprediksi tidak dapat disembuhkan dengan prognosis yang buruk. Karakteristik perawatan paliatif mencakup perawatan holistik, dilakukan dengan kerja tim interdisiplin, dan perawatan penuh kasih sayang dengan fokus utama pada pasien dan keluarga.
Peningkatan kualitas hidup pasien dan keluarga, peningkatan martabat manusia, peningkatan perawatan diri, dan penguatan kemampuan mengatasi masalah adalah tujuan perawatan paliatif. Kualitas hidup berfokus pada aspek kesehatan fisik atau mental individu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk adanya penyakit atau pengobatan.
Kualitas hidup telah menjadi parameter klinis subjektif dan penting yang digunakan untuk menilai dampak penyakit dan hasil pengobatan yang dilakukan. Dalam konteks palliative care, perawatan yang dilakukan lebih ditekankan pada mengatasi gejala yang muncul dari sebuah penyakit serta mempertahankan kualitas hidup dalam kondisi perburukan prognosis penyakit yang dialami oleh individu.
Kondisi palliative care sangat identik dengan kehilangan dan proses berduka. Kehilangan yang dimaksud adalah kehilangan kapasitas fungsional baik secara fisik maupun psikologis sampai pada kehilangan peran yang dialami oleh individu; sebagai contoh kehilangan fungsi dari ginjal atau kapasitas fungsional paru-paru yang membuat individu lantas masuk dalam ketidak berdayaan baik secara fisik maupun psikologis dan ketidakmampuan dalam menjalankan peran utama yang harus dijalankan baik dalam keluarga maupun social masyarakat. Kondisi ini tentunya akan membuat individu merasa kehilangan dan mengalami proses berduka. Peran orang terdekat/keluarga merupakan salah satu kunci utama untuk dapat membersamai dan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup individu tersebut.
Bagi seorang Muslim, adalah menjadi tugas kita untuk dapat memberikan dukungan dalam hal saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran agar supaya kita tidak menjadi orang yang merugi sesuai yang tercantum dalam Alquran surat Al-Asr, termasuk dalam memberikan penguatan terhadap saudara kita yang sedang di uji kesabarannya dengan masalah kesehatan atau kehilangan kapasitas fungsional sebagian atau seluruh tubuhnya termasuk kaitannya dengan konteks palliative care.
Wal-'aṣr
(Demi masa)
Innal-insāna lafī khusr
(Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian)
Illallażīna āmanụ wa 'amiluṣ-ṣāliḥāti wa tawāṣau bil-ḥaqqi wa tawāṣau biṣ-ṣabr
(Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran)
Saling menasehati dalam kesabaran tentunya merupakan hal yang dilakukan dengan tujuan yang mulia, namun tentunya hal tersebut secara teknis harus dilakukan dalam situasi yang tepat dan dengan cara-cara yang baik.
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh seorang psikiatris asal Swiss, Kubler-Ross mengidentifikasi bahwa ketika individu mengalami kehilangan terdapat tahapan-tahapan atau fase proses kehilangan dan berduka yang akan dilalui, yaitu (1) Denial (penolakan) yang merupakan fase awal kita untuk bertahan ketika dihadapkan oleh kehilangan, dilanjutkan dengan fase (2) Anger (marah) yaitu expresi luapan kekesalan seperti berbicara dengan nada yang tinggi, mengeluh, menyalahkan keadaan dengan emosi yang meluap-luap.
Fase selanjutnya yaitu (3) Bargaining (tawar-menawar); ekspresi perasaan mengandaikan situasi dan kondisi. Fase (4) Depression (depresi): yaitu merasa sangat sedih dan tidak berdaya. Fase (5) Acceptance (penerimaan) yaitu berdamai dan menerima kenyataan yang sudah terjadi.
Berkaitan dengan proses atau fase berduka maka seyogianya nasehat kesabaran atau kebaikan dapat diselaraskan dengan kondisi atau fase yang sedang dilalui oleh individu tersebut. Hal ini menjadi penting untuk dapat memberikan nasehat kesabaran yang sesuai dan memberikan impact positive untuk individu penerima nasehat kebaikan.
Secara umum dalam fase denial sampai bargaining kemampuan mendengarkan keluhan individu menjadi hal bijak yang dapat dilakukan dalam kontek saling menasehati, sementara memberikan bantuan dan support untuk mengatasi ketidak berdayaan menjadi hal penting dalam fase depresi; mengidentifikasi dan membuat alternatif dalam mengoptimalkan kemampuan/kapasitas fungsional individu menjadi penting dalam fase acceptance.
Di sisi lain, tentunya banyak pembelajaran tentang nilai kesabaran yang dapat kita petik dalam kontek palliative care. Rasa syukur terhadap segala bentuk nikmat (terutama nikmat kesehatan) yang masih kita rasakan sampai dengan detik ini, menjadi hal yang harus diwujudkan dalam amalan-amalan sholeh yang nyata.
Belajar dari pengalaman individu dengan kategori palliative care memberikan pembelajaran bagi kita semua dalam kedewasaan dan kesabaran dalam ujian kehidupan. Proses kehilangan dan berduka, prediksi prognosis terhadap suatu penyakit dalam palliative care mengingatkan kita untuk dapat melakukan amalan-amalan terbaik, mengoptimalkan peran terbaik kita dalam kebenaran dan kebaikan serta meningkatkan nilai dan keyakinan spiritualitas, sehingga menjadikan kualitas hidup kita adalah kualiats hidup terbaik dan memberi manfaat kepada sesama. Amiin.