Rabu 13 Nov 2024 13:27 WIB

Bullying Meningkat, Sekolah Didorong Jadi Tempat yang Nyaman bagi Siswa

Sepanjang tahun 2023 terjadi sekitar 3.800 kasus perundungan di Indonesia.

Bullying (ilustrasi)
Foto: Republika
Bullying (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MANOKWARI -- Lingkungan sekolah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para siswanya dalam menempuh pendidikan. Karena di sekolah setiap siswa bisa belajar dengan damai dan mengembangkan diri mereka secara maksimal. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi kalangan sekolah agar lingkungan sekolah terhindar dari intoleransi, kekerasan dan bullying.

“Tentunya lingkungan sekolah ini harus menjadi tempat yang nyaman bagi para siswa yang menerima ilmu-ilmu sebagai bekal mereka kedepan dalam membangun dan mengisi bangsa ini. Jangan sampai lingkungan sekolah ini tumbuh atau berkembang ajaran intoleransi, kekerasan dan bullying yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian bagi siswa dan bangsa ini,” ujar Kasubdit Kontra Propaganda Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI), Kolonel Hendro Wicaksono dalam sambutan dan paparannya saat membuka acara “Pelatihan Guru Dalam Rangka Menumbuhkan Ketahanan Satuan Pendidikan Dalam Menolak Paham Intoleransi, Kekerasan dan Bullying”.  Acara yang merupakan hari pertama dari bagian Program Sekolah Damai BNPT ini berlangsung di Aula SMK Negeri 2, Manokwari, Papua Barat, Rabu (13/11/2024).

Lebih lanjut Kasubdit KP BNPT mengatakan, lingkungan sekolah masih menghadapi tantangan serius.  Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang tahun 2023 terjadi sekitar 3.800 kasus perundungan (bullying) di Indonesia. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, di mana pada 2022 terdapat 226 kasus, 53 kasus di 2021, dan 119 kasus pada 2020.

Perundungan yang terjadi ini melibatkan berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, verbal, maupun psikologis. Dari total kasus tersebut, 55,5 persen melibatkan bullying fisik, 29,3 persen bullying verbal, dan 15,2 persen bullying psikologis.

“Melihat data itu tentunya dampaknya bagi para siswa ini sangat tinggi sekali. Lebih memprihatinkan lagi, siswa Sekolah Dasar (SD) menjadi kelompok korban terbesar dengan angka 26 persen, disusul oleh siswa SMP dan SMA,” ujarnya.

Situasi ini menurutnya tentu menjadi perhatian semua pihak, karena perundungan yang terjadi tidak hanya merusak mental dan kepercayaan diri korban, tetapi juga dapat mengganggu proses belajar-mengajar serta menciptakan suasana yang tidak kondusif bagi seluruh komunitas sekolah. Untuk  guru memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter anak didik dan menciptakan suasana yang kondusif di lingkungan sekolah

"Karena bapak/ibu adalah figur yang dijadikan panutan oleh siswa, yang kehadirannya bukan hanya sekedar untuk mendidik secara akademis, tetapi juga untuk membimbing moral dan nilai-nilai sosial yang positif bagi anak anak kita ke depannya," ujar alumni Akmil tahun 1996 ini.

Dirinya menjelaskan, di jaman dulu sebelum era reformasi, keberadaan para guru ini sangat dihormati oleh para murid muridnya. Karena apa yang disampaikan para guru atau guru memberikan hukuman yang bertujuan untuk mendidik nilai nilai moral dan kedisiplinan siswa, para siswa tentu akan menuruti dan mematuhinya.

“Namun berbeda dengan jaman sekarang. Kalau jaman sekarang guru memberikan hukuman sedikit akan dilaporkan kepada aparat penegak hokum oleh orang tua siswa. Dan tentunya hal ini jangan sampai terjadi lagi kepada guru dan perlu kita carikan solusinya,” ujarnya.

Oleh karena itu dengan diselenggarakannya kegiatan pelatihan guru ini dirinya berharap para guru dapat memperkuat kapasitas untuk mengidentifikasi, menangani, dan mencegah terjadinya perundungan, intoleransi serta dapat menyebarkan nilai-nilai perdamaian di sekolah.

“Melalui acara pelatihan guru pada program Sekolah Damai BNPT ini, mari kita jadikan lingkungan sekolah di Papua Barat sebagai tempat yang aman, ramah, dan penuh semangat toleransi. Kami mengajak bapak ibu semua untuk saling bekerja sama dalam menciptakan lingkungan belajar yang terbebas dari kekerasan, sehingga siswa dapat merasakan ketenangan dan kenyamanan dalam belajar, dan siap menjadi bagian dari masyarakat indonesia yang inklusif,” ujar Perwira Menengah yang menghabiskan karie militernya di lingkungan Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI ini mengakhiri.

Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Provinsi Papua Barat, Abdul Fatah dalam sambutannya mengatakan bahwa terorisme ini sudah merupakan suatu ancaman bagi negara, ancaman terhadap kehidupan bangsa dan bernegara yang tentunya harus bersama-sama diperangi. 

“Kita selaku pemerintah ataupun selaku kalangan sekolah, satuan Pendidikan, kalangan guru harus bersatu memerangi terorisme. Dan para guru harus memahami dan mengenali ciri cirinya jika hal itu ada pada siswa di lingkungan sekolahnya,’ ujar Abdul Fatah.

Menurutnya kegiatan-kegiatan yang digagas BNPT seperti ini tentunya ini akan berdampak sangat positif. Karena bagaimanapun guru ini sebagai penyambung lidah, dimana guru ini yang berhadapan langsung dengan anak-anak dan guru inilah yang lebih tahu tentang karakter anak.

“Oleh karena itu seperti yang sudah sering saya sampaikan bahwa guru itu harus ada di garda paling depan. Janganlah kita pernah menyerah pada kondisi anak, tetapi kita harus selalu memberikan atensi kepada anak-anak, sehingga anak-anak ini nantinya akan memiliki nilai-nilai karakter yang akan membangun bangsa dan negara ini,” ujarnya.

Dirinya mengakui kalau di era sekarang ini berbeda dengan era jaman dahulu saat dirinya pernah menjadi guru. Dimana selama ini ada beberapa kendala yang dialami para guru dalam mendidik anak yang membuat guru ini sepertinya tidak terlalu maksimal di dalam hal pembinaan karakter anak.

“Pertama, adanya kekhawatiran dari orang tua, kekhawatiran dari keluarga dan kekuatiran terhadap aturan. Jika nanti akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya merugikan siswa, takutnya nanti berpotensi akan diproses secara hukum. Tetapi sesungguhnya saya selaku pribadi dan saya pernah menjadi guru saya tidak pernah takutkan hal itu sepanjang kita tidak mencederai anak secara fatal,” katanya

Karena dengan adanya pelatihan ini, para guru harus bisa lebih memahami pola pola intoleransi, radikalisme dan terorisme agar tidak menyebar di lingkungan sekolah. Dirinya berharap pelatihan seperti ini tidak hanya dilakukan di ibukota provinsi semata, tetapi kegiatan seperti ini sebenarnya juga harus dilakukan di tingkat Kabupaten,

“Karena di kabupaten itu banyak sekali guru-guru yang perlu mendapatkan pelatihan seperti ini. Mohon selanjutnya hal hal seperti ini kedepan bisa dilaksanakan di Kabupaten agar dapat dihadiri kepala Dinas Pendidikan di tingkat Kabupaten juga. Ini agar para guru di tingkat kabupaten dapat memahami masalah tiga dosa besar yang ada di dunia Pendidikan,” kata Abdul Fatah mengakhiri.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement