Selasa 25 Mar 2025 14:05 WIB
UII Ramadan Fair

Dari Sekardangan ke Taiwan, Jejak Chika Menjaga Alam Membangun Masa Depan

Perjalanan ini dimulai dari kepekaan Chika terhadap lingkungan sekitar.

Chika Alifia Wijaya
Foto: dokpri
Chika Alifia Wijaya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Hukma Shobiyya (MAIT Darul Fikri Sidoarjo)*

Di sudut Sidoarjo, gelak tawa bocah-bocah terdengar gembira di bawah rindangnya balai pertemuan. Mereka datang bukan untuk main ponsel. Mereka datang, melainkan, untuk aktivitas yang istimewa. Di tangan mereka ada beberapa potongan kertas, sejumlah botol plastik bekas, bahkan berbagai macam sisa sayuran. Akan tetapi, bagi mereka, itu bukanlah hanya limbah, tetapi juga pemecahan masalah, kesempatan, serta asa.

Di antara mereka, nampak seorang gadis dengan senyum semangat dan percaya dirinya. Dialah Chika Alifia Wijaya. Dengan kepeduliannya, ia mengumpulkan anak-anak, membersamai, dan membimbing anak-anak dalam program Waste Warriors, sebuah gerakan yang tidak sekadar mengajarkan cara memilah dan mendaur ulang sampah, tetapi tentang membentuk kebiasaan baru, kebiasaan yang bisa mengubah masa depan dan juga bagaimana menghargai alam untuk keberlanjutan masa depan.

Namun, di balik kesadaran yang mulai tumbuh di beberapa komunitas, Sidoarjo menghadapi realitas yang tidak bisa diabaikan.  Menurut penelitian Jurnal Kesehatan Lingkungan Universitas Airlangga (2023), Kota ini menghasilkan 4.517 meter kubik sampah per hari, menjadikanya salah satu daerah dengan produksi sampah terbesar di Jawa Timur. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 20 persen yang dapat dikelola dengan baik, sementara sisanya menumpuk tanpa penanganan yang memadai. Bagi Chika, kenyataan ini bukan sekadar angka. Ini adalah panggilan untuk bertindak.

Perjalanan ini tidak dimulai dari sesuatu yang besar. Semuanya berawal dari kepekaan Chika terhadap lingkungan sekitar. Rumahnya berdekatan dengan Kampung Edukasi Sampah (KES) Sekardangan, tempat yang telah menginspirasi banyak orang dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. "Saya benar-benar kagum akan penataan lingkungan dan manajemen pengelolaan sampah di RT 23 RW 07 Sekardangan," ujarnya. Kekaguman ini mendorongnya untuk mengembangkan proyek yang tidak hanya fokus pada pengelolaan sampah, tetapi juga pemberdayaan anak-anak yatim dan kelompok rentan lainnya.

Alih-alih teman sebaya sibuk scrolling Instagram dan Tiktok tak tentu arah, ia sibukkan diri turun tangan terlarut dalam aksi nyata peduli lingkungan. Berbekal semangat dan dukungan orang sekelilingnya, Waste Warriors lahir dari tangan briliannya. Program inovatif yang bertujuan untuk memberikan edukasi pengelolaan sampah kepada anak-anak yatim, anak berkebutuhan khusus, dan korban perundungan.

Melalui program ini, kelompok rentan yang jarang tersentuh perhatian ini diajarkan cara memilah sampah, membuat pupuk organik, dan menciptakan kerajinan dari bahan daur ulang. "Edukasi sejak dini adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan," tegas Chika.

Chika semakin yakin bahwa edukasi harus dimulai sejak dini. Namun, ada satu hal yang membedakan programnya dari yang lain. Waste Warrior fokusnya adalah anak-anak yatim dan kelompok rentan, mereka yang sering kali terabaikan dalam isu lingkungan. "Saya ingin program ini bukan hanya sekadar edukasi, tapi juga memberi manfaat lebih bagi mereka yang jarang diperhatikan," jelasnya.

photo
Peluncuran program Waste Warriors. - (dokpri)

Jika sebagian besar program edukasi sampah hanya sekadar sosialisasi, Waste Warriors melakukan aksi nyata yang berdampak. Anak-anak yang mengikuti program ini tidak hanya belajar memilah sampah atau membuat kompos dengan metode Takakura. Selain itu, mereka juga tidak hanya belajar teori, tetapi juga diterapkan lalu dipantau kebiasaannya selama 21 hari. “Ada penelitian yang menyebutkan bahwa kebiasaan bisa terbentuk dalam waktu 21 hari. Jadi, kami tidak hanya mengajarkan, tapi juga mengawasi kebiasaan mereka sehari-hari," kata Chika.

Bersama pengurus Kampung Edukasi Sampah serta beberapa donatur, Chika memastikan bahwa kebiasaan kecil seperti membawa bekal sendiri ke sekolah, menggunakan tumbler daripada botol plastik sekali pakai, hingga belanja dengan totebag benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya? Anak-anak mulai mengubah kebiasaan mereka, dan bahkan menularkannya ke orang lain. "Bangga dan haru tentunya, salah satu anak mengirim foto dirinya sedang memilah sampah di rumah dan berkata bahwa dia ingin mengajarkan ini ke adiknya," cerita Chika.

Perjalanan Waste Warriors membawa Chika ke panggung yang lebih besar. Setelah menemukan informasi tentang kompetisi Asian Girls in Action Project, Chika mengenalkan Waste Warrior dalam proposalnya. Berkat ketekunan dan semangat pantang menyerah, ia berhasil melalui seleksi ketat, ia terpilih sebagai salah satu finalis dan mendapatkan kesempatan untuk menghadiri AGC Powercamp di Taiwan. Bertemu wanita-wanita hebat yang memiliki visi sama.

Alhamdulillah, namanya diumumkan sebagai juara pertama, Chika hampir tak percaya. "Saya sempat ragu, apakah proyek saya cukup kuat untuk bersaing di tingkat internasional. Tapi ternyata, ini bukan hanya tentang saya. Ini tentang anak-anak, tentang lingkungan berkelanjutan, tentang sesuatu yang lebih besar untuk masa depan generasi mendatang," katanya.

Meskipun Waste Warrior sudah bisa berjalan dan mengantarkan pada kemenangan besar, perjalanan Chika bukan tanpa tantangan. Pendanaan menjadi salah satu kendala terbesar yang ia hadapi. "Karena saya masih pelajar, saya harus mencari cara untuk mendapatkan dukungan finansial, termasuk mengajukan proposal ke berbagai pihak," katanya.  Seringkali Chika hanya bisa menghela nafas panjang ketika proposal-proposalnya tidak membuahkan jawaban, ragu sempat menghinggapi pikirannya, apa program ini bisa dilanjutkan?

Kini, setelah berhasil membangun kebiasaan baru di Sekardangan, langkahnya tidak berhenti di sana. Ia membawa Waste Warriors ke SMPN 2 Bangil, memperluas ekosistem perubahan. Di sana, anak-anak baru diajak mengenal dunia yang sama. Dunia di mana sampah bukan musuh, melainkan peluang, harapan, dan amanah dari masa depan.

"Saya ingin Waste Warriors tetap hidup, meskipun saya nantinya akan sibuk dengan kuliah. Saya berharap bisa membentuk tim yang bisa meneruskannya, atau mungkin bergabung dengan komunitas yang punya visi serupa. Saya tahu, di kampus ada banyak ruang untuk kegiatan sosial, dan saya ingin membawa semangat ini ke sana," ujarnya dengan mata berbinar, seolah melihat masa depan Waste Warriors yang terus tumbuh.

Bahkan tanpa kehadiran dirinya sekalipun, Chika tak mempersoalkan. Baginya, ini tidak sekadar menjaga alam, melainkan semata mengharap berkah di balik perjuangan, menjadi manfaat untuk semua orang. Dunia sudah mengakui, gerakan ini tidak boleh berhenti.

Sampah mungkin tak bisa bersuara. Tapi jika kita mau mendengarkan dengan hati, ia mengajarkan kita banyak hikmah dalam kehidupan, bagaimana menjaga amanah hingga tentang keberkahan yang datang ketika kita merawat apa yang telah Allah titipkan. momentum Ramadhan adalah kesempatan mulia, memulai hal baik dari yang sederhana. Niatkan semata mengharap ridho-Nya, Insya Allah tidak akan sia-sia. Menjaga alam pun menjadi bagian dari ibadah, sarana meraih berkah menebar manfaat bagi sesama.

*Karya jurnalistik di atas merupakan karya Ahmad Hukma Shobiyya yang menjadi Juara 3 Lomba Menulis Feature Kategori SMA/SMK/MA UII Ramadan Fair 2025 kolaborasi antara Universitas Islam Indonesia dengan Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement