Rabu 14 May 2025 16:59 WIB

Ramai Usulan Daerah Istimewa Baru, Pakar UGM: Sejahterakan Rakyat atau Tidak?

Menurut Gaffar, satu kunci tercapainya kesejahteraan adalah pemerintahan efektif.

Rep: Wulan Intandari/ Red: Fernan Rahadi
Abdul Gaffar Karim
Foto: Tangkapan layar Zoom
Abdul Gaffar Karim

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Baru-baru ini, Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) secara resmi telah menerima usulan pemekaran dalam bentuk daerah istimewa untuk enam wilayah yang tersebar di lima provinsi.  Adapun usulan ini masing-masing satu daerah di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Riau, sementara dua usulan pembentukan daerah istimewa berada di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Akan tetapi, geliat usulan pembentukan daerah istimewa ini terus menuai sorotan di kalangan publik. Pakar Politik dan Pemerintahan dari  Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim ikut angkat bicara. Dia mengatakan sebaiknya usulan itu perlu ditinjau lebih mendalam sebab usulan pembentukan daerah baru tidak sepenuhnya untuk kepentingan menjalankan pemerintah supaya lebih efektif dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun sebaliknya usulan tersebut dikhawatirkan hanya sekedar memenuhi kepentingan elite yang ingin berkuasa. 

Jika tujuannya bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, ia menegaskan agar usulan tersebut diabaikan saja. "Apa pun langkah yang mau dilakukan, ini mendukung upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat atau tidak? Kalau tidak, tidak perlu dilakukan," kata Gaffar, Rabu (14/5/2025).

Menurutnya, salah satu kunci tercapainya kesejahteraan adalah pemerintahan yang efektif.  Gaffar mengingatkan potensi risiko jika pembentukan daerah baru hanya dijadikan kendaraan politik elite. Ia mencontohkan pengalaman pemekaran daerah yang justru membengkakkan biaya pemerintahan dan membuka peluang korupsi. 

Selain itu, Gaffar turut menanggapi argumen yang menyebut daerah bekas kerajaan 'layak' diangkat menjadi daerah istimewa, menurutnya argumen itu tidak cukup kuat. Selain dari sisi historis, urgensinya juga perlu diperhatikan. Sejauh ini, hanya DIY yang memiliki struktur pemerintahan kerajaan yang masih utuh hingga kini, mulai dari raja, istana, wilayah, sistem politik, prajurit, dan lain sebagainya.

"Kalau daerah lain, tinggal sejarahnya saja. Struktur pemerintahannya sudah tidak lengkap. Jadi argumen itu sangat lemah," katanya.

Ia juga menyoroti fenomena daerah istimewa di Indonesia selama ini lahir karena faktor sejarah khusus dan urgensi, seperti DIY dengan perannya dalam kemerdekaan, Aceh dengan sejarah konfliknya, atau DKI Jakarta dengan status ibu kota negara. Daerah-daerah tersebut diberikan kewenangan khusus, seperti fleksibilitas urusan pertanahan di DIY, legalnya partai lokal di Aceh, hingga spesialnya tata kelola kabupaten/kota di DKI Jakarta.

Menurutnya, negara semestinya merancang sistem otonomi daerah yang asimetris di mana setiap daerah diberi keleluasaan untuk mengelola pemerintahan sesuai karakteristik masing-masing. Ia mendorong agar pemerintah berhenti menggunakan pendekatan parsial dan tambal sulam dalam menata daerah. Sebaliknya, pemerintah disarankan perlu membuat desain besar yang menyeluruh untuk sistem pemerintahan daerah di Indonesia.

"Kalau otonomi daerah tidak seragam, setiap daerah jadi istimewa. Tidak perlu lagi pembicaraan soal daerah khusus," ungkapnya.

"Jika memang mau dibuat rancangan yang lebih efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pikirkan keseluruhan daerah. Buatlah rancangan yang tidak seragam dan yang tidak simetris," ujarnya menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement