Ahad 25 May 2025 18:45 WIB

Ayam Goreng Widuran Non Halal, Pegiat: Logo Halal Bukan Hanya Simbol

Umat Muslim agar teliti sebelum membeli atau mengonsumsi makanan.

Rep: Muhyiddin/ Red: Karta Raharja Ucu
Ayam Goreng Widuran Solo memakai bahan baku non-halal. Diduga kuliner legendaris yang sudah beroperasi selama 53 tahun tersebut memakai minyak babi.
Foto: Tangkapan Layar/Instagram
Ayam Goreng Widuran Solo memakai bahan baku non-halal. Diduga kuliner legendaris yang sudah beroperasi selama 53 tahun tersebut memakai minyak babi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Restoran Ayam Goreng Widuran Solo menjadi sorotan umat Muslim Indonesia setelah viral di media sosial karena tidak mencantumkan informasi jelas mengenai makanannya yang non-halal. Pegiat halal sekaligus Pendiri Halal Corner, Aisha Maharani mengatakan, kasus ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi informasi terhadap kandungan makanan, terutama dalam konteks negara dengan mayoritas Muslim seperti Indonesia.

"Label ‘halal’ bukan hanya simbol, tapi bagian dari perlindungan konsumen terhadap keyakinan dan hak mereka untuk mengonsumsi yang sesuai ajaran agama," ujar Aisha saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (25/5/2025).

Baca Juga

Aisha mengimbau kepada seluruh masyarakat Muslim agar teliti sebelum membeli atau mengonsumsi makanan, apalagi dari tempat makan yang belum memiliki sertifikat halal resmi dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). "Jangan hanya percaya pada nama usaha atau tampilan tradisional. Banyak restoran terlihat "Indonesia banget", tapi belum tentu seluruh menunya halal," ucap Aisha.

"Laporkan jika ada kejanggalan, terutama jika restoran tidak memberikan informasi jelas terkait kandungan makanan mereka," kata Aisha.

Selain itu, dia juga meminta kepada regulator agar memperkuat pengawasan terhadap pelaku usaha kuliner, baik UMKM maupun restoran besar, terutama yang menyajikan menu campuran halal dan non halal. "Wajibkan pencantuman label “Halal” atau “Non halal” secara eksplisit, tidak hanya di kemasan tetapi juga di media promosi dan display menu," ujar Aisha.

Aisha juga meminta kepada pemerintah agar tegas terhadap pelaku usaha yang menyesatkan konsumen, baik secara visual, verbal, maupun branding. Apalagi di tengah isu kepercayaan masyarakat yang semakin kritis terhadap makanan halal. 

"Jangan sampai karena kelalaian informasi atau orientasi bisnis semata, kepercayaan publik terhadap sistem halal Indonesia kembali dipertanyakan. Kasus ini harus jadi pelajaran bersama untuk mendorong industri kuliner lebih bertanggung jawab secara moral dan hukum," jelas Aisha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement