
Oleh : Prof Ema Utami (Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Amikom Yogyakarta)
REPUBLIKA.CO.ID, Pada awal September 2025, Nepal dilanda krisis politik dan sosial akibat kebijakan pemerintah yang memblokir 26 platform media sosial, termasuk Facebook, X, dan YouTube, dengan alasan ketidakpatuhan terhadap regulasi registrasi. Kebijakan ini memicu kemarahan publik, terutama di kalangan Generasi Z, yang menilainya sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi.
Pada 8 September 2025, puluhan ribu warga turun ke jalan di Kathmandu dan kota-kota lain, menuntut pencabutan larangan serta mengecam korupsi dan gaya hidup mewah elite politik di tengah ketimpangan ekonomi yang mencolok. Laporan terbaru menyebutkan situasi makin memburuk, bahkan disertai pembakaran gedung-gedung pemerintah.
Salah satu penyebab utama krisis dan ketegangan sosial di Nepal adalah ketergantungan ekonomi pada sektor informal serta minimnya lapangan kerja bagi kaum muda. Fenomena “flexing” kekayaan dan gaya hidup mewah oleh kalangan elite, ditambah kekerasan aparat yang mengingatkan pada kasus-kasus serupa di Indonesia, turut menyulut kemarahan publik, terutama dari Generasi Z. Nepal kini menghadapi tantangan besar untuk meredam gejolak dan menangani sumber-sumber ketimpangan serta praktik korupsi yang mengakar, terlebih setelah Presiden dan Perdana Menteri mengundurkan diri.
Krisis di Nepal, negara yang dikenal dengan Gunung Everest di Pegunungan Himalaya yang membentang di lima negara, memperlihatkan dua sisi dari kemajuan teknologi, khususnya Internet. Salah satu sisi yang mencolok adalah bagaimana media sosial menjadi panggung bagi aksi “flexing” elite politik, yang memicu kemarahan publik hingga meledak dalam aksi protes besar pada September 2025. Media sosial, yang idealnya menjadi ruang demokratis, justru memperdalam jurang ketimpangan dengan memamerkan kekayaan elite di hadapan rakyat yang hidup dalam kesulitan.
Fenomena seperti yang terjadi di Nepal menunjukkan bahwa dinamika media sosial tidak lagi bersifat lokal. Saat ini, kehadiran Internet telah menjadikan setiap warga negara sebagai global citizen atau netizen yang nyaris tak lagi dibatasi oleh batas-batas teritorial. Peristiwa di satu belahan dunia dapat dengan cepat diberitakan, disebarkan, dan diakses oleh masyarakat global dalam hitungan detik. Dalam konteks ini, ketidakmampuan atau ketidakmauan suatu negara untuk mengelola kemajuan teknologi justru dapat menjadi bumerang. Hal yang sama juga berlaku dalam menyikapi perkembangan teknologi yang kini kian dipercepat oleh kehadiran kecerdasan artifisial (artificial intelligence (AI)).
Di tengah tantangan tersebut, banyak negara justru berhasil memanfaatkan AI untuk mendorong kemajuan di berbagai sektor, khususnya rekayasa teknologi. Inovasi ini terbukti mampu mempercepat proses, meningkatkan efisiensi, dan mengoptimalkan kinerja sistem secara signifikan. Salah satu contohnya adalah Eletrobras, perusahaan listrik terbesar di Brasil, yang baru-baru ini bekerja sama dengan C3 AI untuk mengimplementasikan sistem Grid Intelligence, teknologi berbasis AI yang memantau jaringan transmisi listrik secara real-time. Sistem ini memungkinkan respons lebih cepat terhadap gangguan, sehingga meningkatkan ketahanan dan keandalan sistem kelistrikan nasional.
Kehadiran teknologi memang menunjukkan dua wajah yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, Internet dan AI membuka peluang besar untuk mempercepat kemajuan serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat, seperti yang terlihat dari berbagai inovasi di sejumlah negara. Namun di sisi lain, tanpa tata kelola yang bijak, teknologi dapat menjadi pemicu krisis sosial, politik, dan ekonomi, seperti yang dialami Nepal saat ini. Tantangan terbesar bagi negara-negara di era digital bukan sekadar mengadopsi teknologi, melainkan memastikan pemanfaatannya dapat mewujudkan keadilan, keterbukaan, dan kesejahteraan bersama.
Faktor manusia, terutama para pemangku kebijakan, adalah aktor kunci dalam menentukan keberhasilan pemanfaatan kemajuan teknologi. Teknologi, sebesar apapun potensinya, tidak akan membawa manfaat jika tidak diiringi dengan tata kelola yang baik, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, tanggung jawab moral dan etika menjadi sangat penting, mengingat dampak teknologi tidak hanya pada aspek ekonomi dan sosial, tetapi juga pada keadilan dan keharmonisan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Ar-Rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Ayat ini mengingatkan kita bahwa kerusakan dan konflik yang terjadi di muka bumi sering kali berakar dari keputusan dan tindakan manusia sendiri. Oleh karena itu, para pemimpin dan pengambil kebijakan hendaknya menyadari tanggung jawab besar yang melekat pada posisi mereka, agar teknologi dan kemajuan dapat dijalankan tidak hanya untuk kemajuan semata, tetapi juga untuk keadilan dan kesejahteraan bersama. Wallahu a‘lam.