REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah billboard raksana Abraham Shield di Israel mendadak menyita perhatian dunia. Gambar Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, terpampang sejajar dengan tokoh-tokoh besar seperti Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, serta pemimpin dunia lainnya.
Pengamat Hubungan Internasional dan Terorisme, Robi Sugara menilai pencatutan ini bukan sekadar visual belaka, melainkan simbol yang sarat makna: Indonesia, di bawah kepemimpinan Prabowo, kian diperhitungkan dalam peta diplomasi global, khususnya terkait isu Palestina dan solusi dua negara.
Dalam perspektifnya, Robi menilai foto tersebut menunjukkan bahwa Prabowo menjadi sosok berpengaruh dalam menciptakan solusi perdamaian pada dua negara (two state solution). Menurutnya, foto tersebut merupakan bentuk atas respons terhadap negara maupun pihak yang tidak sepakat atas solusi dua negara.
Kepala Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini mengatakan hal ini tidak lepas atas dampak pidato Prabowo dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (23/9/2025) lalu. Pidato tersebut memberikan pesan kuat kepada Amerika terhadap posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi muslim terbesar dunia.
“Ini berarti Prabowo masuk dalam tim untuk mengatur masa depan di Palestina,” ujar Robi Sugara di Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Robi mengatakan Indonesia sebagai negara yang menganut Politik Bebas Aktif, telah mengambil posisi yang sejalan dengan mayoritas global, yakni mendukung solusi dua negara. Namun, pilihan ini membawa konsekuensi logis yang menjadi tantangan di dalam negeri. Pengakuan ini berpotensi membuka hubungan diplomatik dan pendirian kedutaan besar di masing-masing negara.
“Ini yang saya kira akan menjadi kontroversi dan menghadapi tantangan dari masyarakat Muslim di internal Indonesia sendiri," katanya.
Di sisi lain, Robi mengkritik atas rapuhnya penegakan hukum internasional yang kerap tumpul terhadap Israel. Menurut analisisnya, sistem hukum global saat ini secara faktual tidak berdaya ketika berhadapan dengan negara berkekuatan besar (great power) yang didukung oleh negara pemegang hak veto Dewan Keamanan PBB. Ia menegaskan bahwa kebuntuan ini merupakan masalah struktural, di mana mekanisme hak veto seringkali melumpuhkan resolusi yang bertujuan menegakkan keadilan dan menekan Israel untuk mematuhi hukum internasional.
“Problem seriusnya ada di lima negara pemegang hak veto. Hak itu sering kali keluar dari jalur keadilan sosial dan internasional, bahkan melanggar hukum internasional itu sendiri,” kata Robi.
Meskipun demikian, Robi Sugara menilai telah terjadi perubahan signifikan dalam hasil sidang Majelis Umum PBB kemarin. Ia merujuk pada dukungan mayoritas negara dunia, yang kini diperkuat oleh suara dari negara-negara kunci Eropa seperti Prancis dan Inggris, terhadap resolusi kemerdekaan Palestina.
“Negara-negara Uni Eropa seperti Inggris dan Prancis, yang sebelumnya sering abstain atau satu suara dengan Amerika Serikat dalam mendukung Israel, kini menyetujui kemerdekaan Palestina,” papar Robi.
Robi berpendapat pergeseran sikap tersebut adalah momentum krusial yang harus segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret oleh komunitas internasional untuk menurunkan eskalasi yang terjadi di Palestina.
Menurut Direktur Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuka blokade Gaza untuk misi kemanusiaan. Kapal maupun transportasi yang mengirim misi kemanusiaan ke Gaza harus diizinkan masuk.
“Kita melihat pada Agustus lalu ada gabungan masyarakat sipil dari 44 negara yang (Global Sumud Flotila) mengirimkan bantuan terbesar dalam sejarah, ini harus menjadi prioritas.”
Selanjutnya, Robi menambahkan, mendesak untuk gencatan senjata permanen dan memberikan hak-hak warga Palestina yang telah dirampas. Menurutnya, tanpa gencatan senjata dan keadilan, pembicaraan damai hanyalah isapan jempol.
“Setelah gencatan senjata saya kira harus segera dibuatkan pasukan penjaga perdamaian (peacemaking) untuk menjaga stabilitas dan keamanan kemerdekaan Palestina,” ujar Robi.