REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peringatan Hari Guru Nasional tahun ini menjadi momentum krusial untuk menyoroti pergeseran beban kerja tenaga pendidik. Di balik perayaan seremonial, para guru kini menghadapi tantangan ganda yang jauh lebih kompleks dibandingkan dekade sebelumnya, yakni beradaptasi dengan laju teknologi sekaligus menangani kerentanan mental siswa yang kian mengkhawatirkan.
Pakar Pendidikan Nasional, Darmaningtyas menganggap peran guru saat ini tidak lagi sekadar mentransfer ilmu, melainkan menjadi pondasi dalam pembentukan karakter siswa. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya benturan budaya dan mentalitas yang tajam.
“Di satu sisi, guru banyak di-drive oleh perkembangan teknologi kekinian. Di sisi lain, para guru dihadapi dengan mental-mental siswa yang mungkin lemah,” ucap Darmaningtyas saat dihubungi, Selasa, (25/11/2025).
Menurutnya, kompleksitas masalah ini semakin dalam ketika menelisik karakteristik siswa zaman sekarang, atau yang sering diasosiasikan dengan generasi digital. Ada kesenjangan kemampuan komunikasi dan interaksi sosial yang nyata. Dunia digital yang membentuk perilaku mereka seringkali gagal memberikan perspektif kebangsaan dan kenegaraan, menciptakan generasi yang cerdas secara teknis namun rapuh secara emosional.
Ia menilai, kondisi ini diperparah oleh minimnya ruang ekspresi yang sehat, baik di rumah maupun di lingkungan sosial. Ketidakmampuan menyalurkan emosi ini bermanifestasi menjadi masalah perilaku di sekolah, mulai dari sikap acuh hingga tindakan agresif.
“Anak-anak kaum milenial itu juga punya persoalan, terutama dalam hal komunikasi maupun juga dalam interaksi dengan sesama. Termasuk juga memberikan ruang untuk penyaluran semacam kegelisahan, kekecewaan, dan sebagainya,” jelas penulis buku Manipulasi Kebijakan Pendidikan tersebut.
Lebih lanjut, lelaki kelahiran Gunungkidul, 9 September 1962 ini menekankan bahwa akibat dari tidak adanya ruang itu di lingkup keluarga, para siswa kerap memiliki perilaku menyimpang, seperti bengal, apatis, dan asik dengan gawainya sendiri.
“Inti persoalannya kenapa perundungan di sekolah berkembang meskipun sudah ada protap-protap tentang mengatasi kekerasan di sekolah, karena lingkungan keluarga itu bermasalah,” tambahnya.
Menurut Darmaningtyas, fenomena ini menegaskan kembali konsep Tri Pusat Pendidikan dari Ki Hajar Dewantara, di mana porsi pengaruh sekolah sejatinya hanya 30 persen, sementara keluarga memegang peran dominan sebesar 50 persen, dan lingkungan 20 persen. Ketimpangan peran keluarga berdampak langsung pada siswa.
"Seperti kasus SMA 72. Itu kan Bapak ibunya masih (ada), tetapi dia hanya hidup bersama ayahnya. Ibunya jadi pekerja migran,” ungkapnya.
Menghadapi situasi pelik ini, lanjut Darmaningtyas, pendekatan kekerasan atau otoriter, seperti layaknya seorang mandor sudah tidak lagi relevan. Guru dituntut untuk menjadi fasilitator yang mendorong anak tumbuh dan berkembang tanpa menggunakan kekerasan verbal maupun fisik.
Namun, untuk bisa menjadi pengayom bagi siswa dengan kondisi mental yang beragam, guru sendiri harus memiliki mental yang kuat dan wawasan kebangsaan yang luas. Literasi sejarah dan pemahaman akan nilai-nilai luhur bangsa menjadi kunci agar guru tidak terbawa arus, melainkan mampu menjadi jangkar bagi siswanya.
Sebagai solusi fundamental dalam penguatan karakter pendidik, Darmaningtyas menekankan pentingnya guru untuk kembali menggali nilai-nilai dari para pendiri bangsa.
"Kuncinya, guru perlu membaca banyak hal, terutama biografi para pendiri bangsa sehingga bisa memahami jiwa kebangsaan, bagaimana negara ini dibentuk," katanya.