Rabu 10 Dec 2025 16:13 WIB

Luas Lahan Sawah Menyusut, Indonesia Dinilai Perlu Model Ketahanan Pangan Berkelanjutan

Tantangan dalam mencapai ketahanan pangan meliputi beberapa hal.

Foto udara lahan pertanian yang semakin menyempit di Mataram, NTB.
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Foto udara lahan pertanian yang semakin menyempit di Mataram, NTB.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pada tahun 2024-2025 ini Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 281–282 juta jiwa menghadapi tantangan serius dalam pemenuhan kebutuhan beras nasional. Data BPS menunjukkan luas lahan sawah nasional berada pada kisaran 7,3–7,4 juta hektare dan cenderung stagnan bahkan menyusut akibat alih fungsi lahan.

"Di sisi lain, kebutuhan pangan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan pola konsumsi yang masih sangat bergantung pada beras. Kondisi ini menyebabkan rasio lahan pertanian per kapita Indonesia menjadi salah satu yang terendah di kawasan, sehingga beban produksi per hektare semakin berat," ujar Mahasiswa Program Doktor Rekayasa Industri FTI UII Yogyakarta, Hery Murnawan, dalam siaran pers, Rabu (10/12/2025).

Menurut Hery, situasi tersebut menimbulkan ironi bagi Indonesia sebagai negara agraris yang hingga kini belum sepenuhnya mampu mencapai swasembada pangan secara berkelanjutan. Peningkatan produksi beras pada 2024–2025 lebih banyak disumbang oleh perluasan luas panen dan faktor musiman, bukan oleh lonjakan produktivitas dan efisiensi pertanian.

"Tanpa pengendalian alih fungsi lahan, perlindungan sawah yang kuat, serta peningkatan teknologi dan produktivitas, ketahanan pangan nasional akan terus berada dalam posisi rentan. Oleh karena itu, masalah swasembada pangan bukan semata soal jumlah lahan, tetapi juga menyangkut tata kelola, kebijakan, dan keberlanjutan sektor pertanian nasional," katanya.

Ia memaparkan, tantangan dalam mencapai ketahanan pangan meliputi beberapa hal yaitu ketersediaan pupuk, pupuk subisdi sering hilang dipasaran saat masa tanam dan petani harus membeli pupuk non subsidi yang berakibat baiya operasional tinggi. Kedua, usia petani rata-rata di atas 50 tahun karena proses regerasi petani yang tidak menarik bagi generasi muda dan generasi Gen Z. Ketiga, nilai jual hasil panen yang cenderung tidak stabil atau turun dan tidak sesuai dengan peraturan pemerintah. Keempat, transparansi nilai ekonomi sektor pertaniam yang belum terbuka bagi gerenasi muda, generasi muda dan Gen Z, sehingga mereka cenderung untuk bekerja pada sektor industri.

Melihat hal tersebut, Hery melakukan penelitian terkait program Presiden Prabowo Subianto yaitu tercapainya ketahanan pangan nasional. Penelitian yang dilakukan untuk menempuh studi S3 Program Doktor Rekayasa Industri di UII Yogyakarta tersebut adalah dengan membuat model ketahanan pangan yang berkelanjutan (sustainable) dan kepatuhan (compliance) dengan pendekatan Triple Bottom Line yaitu dengan memperhatikan tiga aspek yaitu sosial, lingkungan dan ekonomi.

"Model pencapaian ketahanan pangan yang berkelanjutan (sustainable) dilakukan dengan memperhatikan aspek sosial yaitu melakukan adaptasi teknologi mulai dari pengolahan sawah sampai masa panen dengan mengedepankan penggunaan teknologi pada peralatan pertanian," katanya.

Ia memaparkan, aspek lingkungan adalah dengan membuat pupuk organik dari limbah ikan dan sayuran guna mencapai kemandirian pupuk dan menekan biaya operasional, menggunakan burung hantu untuk mengurangi hama tikus. Kemudian, aspek ekonomi memberikan informasi dan transparansi hasil pertanian secara masif pada generasi muda dan Gen Z bahwa secara ekonomi pertanian mempunyai hasil yang lebih tinggi dari UMK pekerja industri serta melakukan diversikasi pertanian saat waktu luang. 

"Lingkungan dan ekonomi yang dimplementasikan dan diiformasikan secara masif pada generasi muda dan Gen Z diharapkan akan berdampak positif generasi muda untuk tertarik pada sektor pertanian, sehingga keberlanjutan ketahanan pangan dapat dicapai. Model pencapaian Kktahanan pangan dengan kepatuhan (compliance) dilakukan dengan memperhatikan faktor empiris terkait dengan regulasi baik tingkat nasional dan provinsi yaitu menjaga harga gabah kering saat panen, menjaga lahan sawah yang dilindungi, menjaga ketersediaan pupuk subsidi, menjaga ketersediaan air," katanya.

Menurut Hery, peran pemerintah pusat dan daerah serta petani sangat penting dalam menjalankan kepatuhan (compliance) peraturan pemerintah dan regulasi. Model ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable) dan kepatuhan (compliance) diharapkan akan berdampak bagi generasi muda dan Gen Z dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi, yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi pemerintah dan petani untuk mencapai swasembada pangan bahkan melakukan ekspor beras ke negara lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement