REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Richo A Wibowo, menegaskan kekhawatiran para dosen UGM terkait rencana pemberian gelar profesor kehormatan bukanlah mengada-ngada. Menurutnya penolakan tersebut merupakan bagian dari kegelisahan atas praktik serupa yang terjadi di beberapa kampus.
"Sekaligus untuk mengingatkan agar jangan sampai praktik serupa terjadi di UGM," kata Richo kepada Republika, Kamis (16/2/2023). Ia mengatakan isu tersebut untuk mencegah agar jangan sampai pemberian gelar kehormatan dilakukan secara serampangan.
Pemberian gelar profesor kehormatan harus didasarkan pada pakem keilmuan, seperti hasil pemikiran dengan rekam jejak yang kuat. "Jangan sampai pemberian gelar karena pertimbangan kepentingan transaksional atau kepentingan politik," tegasnya.
Penolakan terhadap rencana pemberian gelar profesor kehormatan juga disampaikan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM, Akhmad Akbar Susamto. Akbar mengatakan penolakan tersebut didasarkan pada rencana UGM memberikan gelar profesor kehormatan kepada salah satu 'orang penting' di bidang ekonomi.
"Singkatnya, ada orang penting yang 'minta/mau dikasih' profesor kehormatan. Kebetulan terkait departemen saya (Departmen Ilmu Ekonomi)," kata Akbar kepada Republika, Kamis (16/2).
Akbar mengatakan alasan penolakan terhadap rencana pemberian gelar profesor kehormatan tersebut tertulis sebagaimana yang tertuang dalam dokumen yang viral di dunia maya. Akbar mengatakan argumen detail penolakan juga telah disampaikan di rapat Senat UGM.
"Yang ditolak bukan orangnya. Secara personal, 'orang penting' tadi sebenarnya cukup kompeten. Yang ditolak adalah praktik pemberian profesor kehormatan itu, siapapun orangnya," ujarnya.
Sementara itu, Kabag Humas dan Protokol UGM, Dina W Kariodmedjo, belum mau berkomentar banyak terkait kabar itu. "Kami masih diminta menunggu arahan," kata Dina saat dikonfirmasi.