Jumat 24 Feb 2023 09:09 WIB

UGM Kukuhkan Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional 

WTO mengalami stagnasi yang membawa implikasi signifikan pada perdagangan global.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UGM, Poppy Sulistyaning Winanti.
Foto: Humas UGM
Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UGM, Poppy Sulistyaning Winanti.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali mengukuhkan seorang guru besar. Kali ini giliran Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Poppy Sulistyaning Winanti, yang dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Hubungan Internasional, Kamis (23/3).

Pengukuhan digelar di Balai Senat Gedung Pusat UGM. Pada upacara pengukuhan, Poppy menyampaikan pidato yang berjudul 'Menimbang Kembali Embedded Liberalism untuk Reformasi WTO: Plurilateralisme dalam Multilateral Perdagangan Internasional'.

Dalam pidatonya Poppy menyebutkan soal keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menetapkan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel Indonesia telah melanggar ketentuan dari WTO. Merespons kebijakan itu, Presiden Joko Widodo menegaskan akan tetap melanjutkan kebijakan hilirisasi di dalam negeri. Menurut Poppy, keputusan panel dari WTO ini berawal dari tuntutan Uni Eropa selaku penggugat atas dua kebijakan utama pemerintah Indonesia yang melarang ekspor mentah nikel dan kewajiban untuk melakukan proses pertambahan nilai domestik.

Pertikaian dagang antara Uni Eropa dan Indonesia ini berlangsung pada saat lembaga penyelesaian sengketa WTO tengah dilanda kemacetan sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan putusan proses penyelesaian sengketa ini akibat ketiadaan anggota Appellate Body yang merupakan organ penting dalam mekanisme penyelesaian sengketa di WTO. "Kekosongan anggota Appellate Body WTO ini merupakan salah satu dari deretan bukti bahwa multilateralisme perdagangan di bawah WTO tengah mengalami tekanan luar bisa dalam beberapa tahun belakangan," ujar Poppy dalam keterangan, Kamis (23/2/2023).

Menurut Poppy, kasus pertikaian dagang ini mencerminkan WTO mengalami stagnasi. Padahal, keberadaan WTO saat ini harus mampu beradaptasi dan memberi ruang bagi negara-negara anggotanya dalam menjalankan kebijakan domestik yang tengah dihadapkan pada ancaman nyata perubahan iklim dan perkembangan pesat ekonomi digital. Ia menjelaskan bahwa saat ini WTO mengalami stagnasi yang membawa implikasi yang signifikan pada perdagangan global. 

"Terlihat dalam stagnasi dalam mekanisme penyelesaian sengketa di WTO berakibat pada tereskalasinya perang dagang di antara negara-negara kuat dan kecenderungan penyelesaian sengketa secara sepihak dan dilakukan di luar mekanisme WTO," jelasnya.

Poppy menilai WTO saat ini seolah kehilangan relevansinya sebagai wadah untuk melakukan negosiasi, penyelesaian sengketa, dan pengelolaan perdagangan global. Stagnasi pada WTO juga memperkuat narasi mengenai makin mendesaknya gagasan untuk mereformasi WTO, baik dalam aspek kelembagaan, pengambilan keputusan, maupun cakupan kerja sama.

Pada tataran prinsip, kata Poppy, reformasi WTO dapat dilakukan dengan mendorong kembali diterapkannya embedded liberalism.  Menurutnya, embedded liberalis bukan hal baru dalam sistem perdagangan multilateral. Sebab, prinsip ini yang melandasi rezim perdagangan sebelum WTO ketika masih di bawah GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Melalui prinsip perdagangan bebas tanpa hambatan dapat mendorong dan memperlancar arus perdagangan barang dan jasa lintas batas negara. Namun demikian, prinsip perdagangan bebas yang membatasi negara dalam mengambil kebijakan untuk melindungi kepentingan dalam merespons tantangan terkini tidak lagi dapat diterapkan dalam kondisi saat ini.

"Prinsip embedded liberalism memungkinkan negara untuk berkomitmen dalam perdagangan internasional sekaligus menjamin ruang fleksibilitas bagi negara dalam memitigasi tantangan ekonomi politik global kontemporer," katanya.

Selain itu, pengelolaan perundingan di dalam WTO juga perlu mempertimbangkan mekanisme plurilateral dalam sistem multilateral yang memungkinkan setiap anggota memilih dan memilah kesepakatan baru secara sukarela, sesuai dengan kepentingan dan tingkat kemajuan ekonomi masing-masing.

Poppy juga memandang situasi dunia kontemporer, dibutuhkan sebuah rezim perdagangan internasional yang kuat dan justru bukan yang lemah seperti yang ada sekarang. Rezim perdagangan internasional yang kuat artinya di satu sisi dapat mengelola perdagangan internasional yang mengutamakan aturan main dan kepastian hukum bagi semua pihak. Namun di sisi lain, aturan main tersebut dapat beriringan dengan ruang fleksibilitas yang diberikan kepada anggotanya agar dapat merespons tantangan global yang muncul. 

"Dengan kata lain kepentingan negara dalam mengatasi tantangan tersebut dapat diakomodasi dalam bentuk prinsip plurilateral yang lebih terintegrasi dalam sistem multilateral sehingga bisa menjadi basis mendesain dan mengelola rezim perdagangan global masa depan," jelasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement