Sabtu 04 Mar 2023 03:31 WIB

Putusan Tunda Pemilu PN Jakpus, PSHK UII : Cacat Logika

Ada dua kekeliruan mendasar dalam putusan tersebut.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Yusuf Assidiq
Publik Tolak Penundaan Pemilu
Foto: infografis republika
Publik Tolak Penundaan Pemilu

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) menyoroti soal putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang mengabulkan gugatan Partai Prima dan memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda pemilu. Peneliti PSHK UII, Yuniar Riza Hakiki, menilai putusan tersebut cacat logika.

"Putusan PN Jakpus hakikatnya merupakan sebuah cacat logika dan keliru dalam praktik penyelenggaraan hukum Indonesia," kata Yuniar, Jumat (3/3/2023).

Menurut Yuniar ada dua kekeliruan mendasar dalam putusan tersebut. Pertama, substansi perkara tersebut bukan merupakan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) bidang keperdataan, melainkan perkara gugatan sengketa kepemiluan atas keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh KPU. Sehingga secara kompetensi absolut, PN Jakpus seharusnya tidak berwenang mengadili substansi perkara yang berkaitan dengan sengketa pemilu.

Kemudian kekeliruan kedua, PN Jakpus dinilai tidak berwenang memutus penundaan tahapan pemilu. Sebab tahapan pemilu tidak hanya menyangkut kepentingan hukum para pihak yang berperkara dalam sengketa keperdataan.

"Sehingga meskipun putusan PN Jakpus pada aspek tertentu dinilai memulihkan kerugian Partai Prima, tetapi dengan menghukum KPU untuk menunda tahapan pemilu justru merugikan kepentingan hukum yang lebih luas, misalnya partai politik yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 serta rakyat selaku pemilih akan kehilangan hak pilih pada Pemilu yang seharusnya diselenggarakan setiap lima tahun," jelasnya.

Yuniar juga menjelaskan, tidak ada sama sekali mekanisme penundaan pemilu di konstitusi dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut UU Pemilu, yang ada hanyalah penundaan pemungutan suara, dan hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia atau secara nasional.

"Sehingga pelaksanaan pemilu setiap lima tahun harus tetap dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan pada 2024 nanti. Hal ini sejalan dengan pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. 'Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali'," ujar dia.

Ia menilai putusan tersebut mengindikasikan majelis hakim PN Jakpus keliru dalam menerapkan hukum saat memutus perkara. PSHK UII memandang perlu Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung memeriksa majelis hakim PN Jakpus yang mengadili perkara tersebut, dan apabila terbukti melanggar kode etik dan hukum maka harus diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt Pst yang dibangun atas cacat logika hukum yakni kekeliruan kompetensi pengadilan negeri dalam memeriksa perkara kepemiluan, dan menyebabkan kerugian yang berdampak secara luas bahkan inkonstitusional maka hakikatnya putusan tersebut batal demi hukum (never existed)," tegasnya.

PSHK UII merekomendasikan agar KPU tidak perlu melaksanakan putusan PN Jakpus terkait penundaan tahapan pemilu. KPU dapat mengupayakan upaya hukum banding agar putusan tersebut dikoreksi Pengadilan Tinggi. PSHK UII juga merekomendasikan kepada Komisi Yudisial untuk memeriksa majelis hakim yang memutus perkara tersebut.

PSHK UII pun merekomendasikan Badan Pengawasan Mahkamah Agung agar mengawasi dan memperingatkan hakim-hakim di lingkungan Mahkamah Agung agar taat kompetensi absolut dan relatif. Presiden juga diharapkan mengawal pemilu sesuai amanat Konstitusi yakni dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

"Kepada masyarakat umum, agar memantau dan mengawal pemilu agar tetap dilaksanakan pada 2024 sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan," kata Yuniar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement