REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar audiensi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) DIY di Kantor BPS DIY, Selasa (28/10/2025). Kegiatan ini bertujuan memperkuat kolaborasi dalam penyediaan data ketenagakerjaan yang akurat dan partisipatif sebagai dasar penyusunan kebijakan upah serta peningkatan kesejahteraan buruh di DIY.
Koordinator MPBI DIY, Irsyad Ade Irawan, menyampaikan bahwa audiensi tersebut menjadi langkah awal memperkuat kolaborasi antara serikat pekerja dan BPS dalam penyediaan data ketenagakerjaan yang objektif dan ilmiah. Ia berharap BPS dapat membantu menyusun data kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai acuan dalam penetapan upah minimum tahun 2026.
"Kami ingin membangun semangat kolaborasi agar data yang kami gunakan dalam advokasi kebijakan benar-benar didukung oleh data ilmiah," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kerja sama dengan BPS memiliki peran penting dalam memastikan kebijakan publik yang berkaitan dengan kehidupan buruh disusun berdasarkan data yang akurat dan independen.
"Selama ini banyak kebijakan dibuat tanpa pijakan yang kuat pada realitas hidup pekerja, padahal keputusan terkait upah dan kesejahteraan harus berdiri di atas data yang objektif," ucapnya.
MPBI DIY menyampaikan dua agenda utama dalam audiensi tersebut, yakni membangun kemitraan strategis dengan BPS DIY untuk memperoleh data akurat sebagai dasar advokasi kebijakan buruh, serta mendorong pelaksanaan survei kebutuhan hidup layak (KHL) secara rutin dan terbuka. Survei partisipatif yang melibatkan serikat buruh, akademisi, dan pemangku kepentingan lain dinilai penting agar penetapan upah minimum benar-benar mencerminkan biaya hidup nyata pekerja di DIY.
Selain itu, MPBI DIY juga memaparkan hasil Survei KHL Tahun 2025 yang dilakukan secara mandiri di seluruh kabupaten dan kota di DIY. Berdasarkan hasil survei tersebut, kebutuhan hidup layak bagi seorang pekerja di DIY berada pada kisaran Rp3,6 juta hingga Rp4,4 juta per bulan, dengan angka tertinggi di Kota Yogyakarta dan terendah di Kabupaten Gunungkidul.
"Data kami menunjukkan jurang yang lebar antara realitas hidup pekerja dan kebijakan upah pemerintah. Saat kebutuhan hidup mencapai lebih dari Rp 3,6 juta, UMP dan UMK DIY 2025 masih jauh di bawah angka tersebut. Ini jelas mencerminkan adanya pelanggaran terhadap hak buruh untuk hidup layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945," ungkap Irsyad.
Sehubungan dengan temuan tersebut, MPBI DIY mengajukan tiga tuntutan utama kepada pemerintah terkait kebijakan pengupahan di tahun mendatang. Tuntutan tersebut mencakup dorongan agar penetapan UMP dan UMK DIY Tahun 2026 didasarkan pada hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang lebih mencerminkan kondisi riil pekerja, bukan semata mengikuti formula administratif yang membatasi kenaikan upah.
Selain itu, MPBI DIY juga menolak berbagai formula penetapan upah yang dinilai menghambat tercapainya standar hidup layak bagi buruh. Kebijakan yang menekan nilai upah di bawah kebutuhan nyata masyarakat pekerja dianggap sebagai bentuk ketimpangan struktural yang perlu segera diperbaiki.