Rabu 19 Nov 2025 15:43 WIB

Jejak Tenun Lurik Perajin Tradisional Bertahan di Tengah Modernisasi

Menenun bukan sekadar pekerjaan, melainkan cara menjaga warisan budaya.

Salah satu Pengrajin pembuatan tenun lurik menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) di Kurnia Lurik, Krapyak, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta,  Rabu (12/11/2025).
Foto: Zahra Ocha Nayla
Salah satu Pengrajin pembuatan tenun lurik menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) di Kurnia Lurik, Krapyak, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (12/11/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zahra Ocha Nayla, Triana Kuswanti

Mesin tenun dari kayu berderet rapi di ruangan berdinding tembok beralaskan semen, menghadirkan suasana sederhana yang hangat. Di tengah barisan itu, Siswoharjono duduk berkaus pendek sambil menarik tuas alat dengan kekuatan lengannya. Rambutnya yang memutih dan tulang yang tampak jelas di balik kulitnya tidak mencerminkan usia 92 tahun, sebab gerakannya tetap lincah dan telaten saat mengoperasikan alat tenun bukan mesin (ATBM). Benang-benang warna-warni yang ia rangkai perlahan berubah menjadi lembaran kain lurik yang memesona, sebuah karya yang membuktikan bahwa tradisi masih hidup di setiap hentakan kayu alat tenunnya.

Di ruangan lain yang tak jauh dari tempat Siswoharjono bekerja, Kariyem (55 tahun) memulai pekerjaannya sejak matahari belum tinggi, mengikuti proses panjang yang sudah ia hafal di luar kepala. Ia menjelaskan bahwa setiap tahapan harus melalui pewarnaan, pengklosan, penyetiran, hingga proses ‘dicucuk’ sebelum akhirnya masuk ke mesin tenun. “Semua ini harus sabar. Lurik itu kalau tidak telaten, hasilnya pasti kelihatan beda,” ucapnya kepada Republika, Rabu (12/11/2025).

Ia mengakui bahwa menenun bukan sekadar pekerjaan, melainkan cara menjaga warisan budaya. Baginya, mempertahankan teknik tradisional adalah bentuk penghormatan kepada leluhur yang harus terus dilestarikan agar tradisi ini tidak hilang.

“Saya itu merasa harus ‘menguri-nguri’ peninggalan orang tua dulu. Kalau tidak diteruskan, siapa lagi yang mau,” ujarnya.

Kesulitan dalam menenun tetap menjadi bagian dari kesehariannya mulai dari benang yang putus, pola yang meleset, hingga hasil yang kurang rapi. Namun, Kariyem menganggap semuanya sebagai bagian dari proses belajar, karena, seperti yang ia tegaskan, “Kadang salah sedikit bisa ulang dari awal. Tapi ya namanya lurik, harus sabar. Kalau tidak sabar tidak jadi,” ucapnya dengan senyum kecil.

Di pabrik tempatnya bekerja, jumlah penenun kini hanya tersisa sekitar sepuluh orang. Banyak pekerja memilih bekerja dari rumah sambil mengurus keluarga. Dahulu, pabrik tersebut ramai dengan puluhan penenun muda, namun kini jumlahnya menyusut drastis dan sebagian besar yang tersisa sudah berusia lanjut.

photo
Salah satu pengrajin pembuatan tenun lurik, Siswoharjono (92 tahun), menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) di Kurnia Lurik, Krapyak, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY, Rabu (12/11/2025). - (Zahra Ocha Nayla)

Usaha tenun yang ditekuninya berada di bawah Kurnia Lurik, sebuah industri rumahan yang telah beroperasi sejak 1962. Usaha ini dimulai oleh Haji Dibyo Sumarto, yang dahulu memasarkan lurik dengan cara berkeliling dari kampung ke kampung membawa sampel kain. Kini, Kurnia Lurik telah dikenal luas, bahkan salah satu pencapaian pentingnya adalah ketika motif lurik buatan mereka dipilih menjadi seragam resmi abdi dalem Kraton Yogyakarta, hal tersebut menunjukkan bahwa tradisi ini memiliki nilai dan tetap dihargai hingga kini.

“Kami merasa bangga sekali, tidak semua motif bisa masuk keraton itu bukti kalau tradisi ini punya nilai,” ujar Beni, pengelola Kurnia Lurik.

Namun, mempertahankan produksi ATBM di tengah arus teknologi modern bukanlah hal mudah. Banyak pihak menyarankan penggunaan mesin cepat untuk meningkatkan jumlah produksi, tetapi Beni tetap menolak. Baginya, ATBM adalah jiwa dari lurik buatan mereka dan simbol kelangsungan tradisi. Selain itu, penggunaan mesin cepat berpotensi mengurangi pekerjaan para penenun yang telah lama menekuni keterampilan ini.

“Kalau pakai mesin, itu bukan lurik kami lagi, ATBM itu jiwa dari produk ini. Selain itu juga banyak penenun kehilangan pekerjaan," kata Beni menegaskan.

Regenerasi menjadi tantangan yang tak kalah berat, sebab menenun kerap dianggap terlalu rumit dan membutuhkan kesabaran tinggi oleh anak-anak muda. Kurnia Lurik pernah membuka peluang untuk remaja, namun sebagian besar tidak bertahan karena merasa prosesnya melelahkan dan hasilnya tidak bisa didapat secara instan. Namun, Kurnia Lurik berupaya berinovasi melalui pengembangan motif dan kolaborasi dengan para desainer agar lurik terlihat lebih segar dan diminati generasi baru.

“Anak-anak muda itu biasanya tertarik kalau motifnya unik, jadi kami kombinasikan motif lama dengan gaya lebih modern,” ungkapnya.

Salah satu motif yang memiliki makna mendalam adalah Telupat Biru, motif yang hingga kini dipercaya layak menjadi bagian dari seragam Keraton Yogyakarta. Motif ini memadukan unsur angka tiga dan empat yang melambangkan tujuh, artinya sebuah simbol kemakmuran dalam filosofi Jawa. Keberadaan Telupat Biru tidak hanya memperlihatkan keindahan visual, tetapi juga menghadirkan jejak nilai-nilai leluhur yang masih dijaga sampai sekarang.

Pemesanan dalam jumlah besar selalu disesuaikan dengan kemampuan para penenun yang sebagian besar sudah berusia lanjut. Proses pengerjaan tidak bisa dikejar cepat karena kerapian dan kualitas tetap menjadi prioritas utama. Pengelola juga memilih untuk tidak menekan para penenun, sehingga setiap helai lurik dapat dikerjakan dengan tenang dan penuh ketelitian.

“Si Mbah (Haji Dibyo-Red) dulu selalu bilang, lurik itu bukan hanya kain, tapi kehidupan banyak orang. Jadi harus dijalankan dengan hati-hati,” ujarnya.

Setiap lembar lurik lahir dari gotong royong banyak tangan, mulai dari pewarnaan hingga proses tenun terakhir. Nilai-nilai yang diwariskan pendiri usaha ini terus dijaga hingga sekarang, bahwa lurik bukan sekedar kain, tetapi bagian dari kehidupan banyak orang. Prinsip itulah yang membuat pengerjaan lurik dijalankan dengan sepenuh hati sehingga menghasilkan karya yang memiliki makna.

Di ruang tenun yang sederhana itu, suara mesin kayu yang berdentang menjadi penanda perjalanan panjang sebuah tradisi yang terus bertahan di tengah arus perkembangan zaman. Di tangan pengrajin seperti Kariyem, lurik tidak hanya hadir sebagai selembar kain, tetapi juga sebagai identitas dan warisan yang menyimpan cerita kehidupan. Jejak tenun lurik yang membentang dari masa lalu hingga kini menjadi pengingat sekaligus ajakan bagi generasi muda untuk turut menjaga budaya yang tak ternilai harganya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement