Ahad 09 Apr 2023 20:51 WIB
Hikmah Ramadhan

Agar tidak Hanya Sekadar Lapar dan Dahaga

Imam Al-Ghazali membagi tiga tingkatan orang berpuasa di bulan Ramadhan.

Logo Unisa Yogyakarta
Foto: Unisa Yogyakarta
Logo Unisa Yogyakarta

Oleh : M Nurdin Zuhdi*

REPUBLIKA.CO.ID, Kata “puasa” dalam Bahasa Arab disebut “Ash-Shiyam” atau “Ash-Shaum” yang secara bahasa berarti “al-Imsak” yang bermakna “menahan diri dari sesuatu”. Dengan demikian, secara istilah puasa bermakna menahan diri dari segala sesuatu dapat membatalkan puasa yang dilakukan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Sehingga orang yang sedang sahur kemudian mendengar seruan “imsak”, itu artinya kita disuruh untuk menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum dan hubungan biologis. 

Namun makna menahan diri ini bukan berarti sempit di mana hanya sekadar menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, namun hakikat menahan diri yang dimaksud bermakna luas yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang dapat menggugurkan pahalanya puasa. Jika puasa hanya sekedar menahan diri dalam arti sempit, maka puasa kita terancam hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga saja bagi pelakunya.     

Sebab itu, dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazali membagi tiga tingkatan orang berpuasa di bulan Ramadhan. Pertama, puasa umum (shaum al-‘umum) yaitu menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Kedua, puasa khusus (shaum al-khushush) yaitu menahan telinga, pendengaran, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa. Ketiga, puasa khusus untuk orang-orang khusus (shaum khushush al-khushush) yaitu menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. 

Dari tingkatan orang berpuasa yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali di atas, tingkatan pertama yaitu puasa umum (shaum al-‘umum) adalah tingkatan yang rawan dengan tipe puasa yang hanya akan medapatkan lapar dan dahaga. Karena, jika puasa kita hanya mencegah dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum dan berhubungan biologis, anak kecil yang baru belajar berpuasa pun bisa melakukannya. 

Karena hakikat puasa yang sebenarnya adalah tidak hanya menahan dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, namun juga menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa. Puasa inilah yang dimasukkan pada tingkatan kedua dan ketiga oleh Imam Al-Ghazali di atas. 

Jika kita belum bisa mencapai tingkatan yang ketiga, maka untuk menghindari puasa yang hanya akan medapatkan lapar dan dahaga, kita harus masuk pada tingkatan yang kedua, yaitu puasa khusus (shaum al-khushush) yaitu menahan telinga, pendengaran, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa. Jika kita mampu masuk pada tingkatan yang kedua ini, maka insya Allah kita akan terhindar dari puasa yang hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga. 

Ada beberapa langkah agar puasa yang kita jalani tidak hanya sekedar mendapatkan rasa lapar dan dahaga. Pertama, Menjaga Lisan dari Perkataan Dusta (Bohong). Berkata dusta atau berbohong adalah salah satu penyebab batalnya pahala puasa. Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan selalu mengamalkannya, maka Allah Ta’ala tidak butuh pada puasanya.” (HR Bukhari). Termasuk berbohong adalah sikap tidak jujur, menyontek saat ujian, menyembunyikan kebenaran dan lain-lainnya.

 

Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan HR Muslim). Kedua, Menjaga dari Perbuatan yang Sia-sia. Nabi SAW bersabda: “Bukanlah puasa itu sebatas menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi puasa adalah menjauhi perkara yang sia-sia dan kata-kata kotor.” (HR Ibnu Khuzaimah). 

Di dalam Surat Al-Mu’minun ayat 3 Allah juga menjelaskan bahwa orang yang beruntung adalah orang yang menjaga dari pebuatan dan perkataan yang tidak berguna. “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS Al-Mu’minun: 3). Perbuatan yang sia-sia adalah perbuatan yang tidak ada manfaatnya dan tidak ada nilai ibadahnya.  

Ketiga, Menahan Nafsu Amarah. Nabi SAW bersabda: "Dari Abu Hurairah RA; Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Puasa itu benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor (rafats) dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang berpuasa (Nabi mengulang ucapannya ini sampai dua kali). Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang berpuasa lebih harum di sisi Allah Ta'ala dari pada harumnya minyak kesturi, karena dia meninggalkan makanannya, minuman dan nafsu syahwatnya karena Aku. Puasa itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan membalasnya dan setiap satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa." (HR Bukhari).

Keempat, Menjaga Pandangan. Menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan adalah salah satu upaya menjaga dari batalnya pahala puasa. Perintah menjaga pandangan ini salah satunya terdapat dalam surat An-Nur ayat 30-31: “Katakanlah kepada laki-laki yang berimn hendaklah meraka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa-apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” 

Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir berkata: “Ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menjaga (menahan) pandangan mereka dari hal-hal yang diharamkan atas mereka. Maka janganlah memandang kecuali memandang kepada hal-hal yang diperbolehkan untuk dipandang. Dan tahanlah pandanganmu dari hal-hal yang diharamkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/41). Nabi SAW juga bersabda: “Pandangan itu adalah panah di antara panah iblis, siapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah mendatangkan kepadanya keimanan, yang ia dapatkan manisnya dalam hatinya.” (HR Ath-Thabrani dan Al-Hakim).

Kelima, Menjaga Tangan. Pentingnya menjaga tangan dari menyakiti dan menzalimi orang lain menjadi ciri bahwa ia adalah muslim yang baik. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dari Rasulullah SAW yang bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang bisa menjaga lisan dan tangannya untuk tidak menyakiti Muslim lain.” (HR Bukhari). Dalam hadist yang lain Nabi SAW bersabda: “Jaminlah aku dengan enam perkara, dan aku akan menjamin kalian dengan surga: jujurlah (jangan berdusta) jika kalian berbicara; tepatilah jika kalian berjanji; tunaikanlah jika kalian dipercaya (jangan berkhianat); peliharalah kemaluan kalian; tahanlah pandangan kalian; dan tahanlah kedua tangan kalian.” (HR Ahmad). Termasuk menjaga tangan adalah tidak mengambil hak orang lain, termasuk mencuri atau korupsi, juga tidak mudah menshare berita-berita hoaks lewat media sosial. 

Keenam, Menjaga Telinga. Menjaga telinga ini erat kaitannya dengan menjaga lisan. Salah satu cara untuk menjaga dari batalnya pahala puasa adalah menjaga telinga kita dari mendengar hal-hal yang tidak berguna, seperti mendengarkan gunjingan, ghibah, fitnah dan lain-lainnya. Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang, dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS Al-Hujurat:12). 

Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah bersabda: “Ketika saya dimirajkan, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga sedang mencakar wajah dan dada mereka. Saya bertanya: Siapakah mereka ini wahai Jibril? Jibril menjawab: Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan melecehkan kehormatan mereka” (HR Abu Daud).   

Dan ketujuh, Menjaga Kaki. Menjaga kaki yang dimaksud adalah menjaga dari langkah menuju ke tempat-tempat yang di haramkan atau minimal ke tempat-tempat yang tidak berguna dan sia-sia. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri anak keturunan Adam bagiannya dari zina. Dia mengetahui yang demikian tanpa dipungkiri. Mata bisa berzina, dan zinanya adalah pandangan (yang diharamkan). Zina kedua telinga adalah mendengar (yang diharamkan). Lidah (lisan) bisa berzina, dan zinanya adalah perkataan (yang diharamkan). 

Tangan bisa berzina, dan zinanya adalah memegang (yang diharamkan). Kaki bisa berzina, dan zinanya adalah ayunan langkah (ke tempat yang haram). Hati itu bisa berkeinginan dan berangan-angan. Sedangkan kemaluan membenarkan yang demikian itu atau mendustakannya.” (HR Bukhari dan HR Muslim)

Itulah beberapa langkah agar puasa kita tidak hanya sekedar mendapatkan lapar dan dahaga. Demikianlah hakikat puasa yang dapat memberikan perubahan besar, baik perubahan pada diri maupun lingkungannya. 

 

 

*Universitas Aisyiyah Yogyakarta 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement