Senin 31 Jul 2023 14:43 WIB

Pengelolaan Sampah Kabupaten/Kota tak Jalan Hingga TPA Piyungan Ditutup, Sultan: Grobyakan

Kabupaten/kota lebih mengandalkan TPA Regional Piyungan untuk membuang sampah.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X di Kompleks Kepatihan, Kota Yogyakarta, Kamis (13/7/2023).
Foto: Republika/Silvy Dian Setiawan
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X di Kompleks Kepatihan, Kota Yogyakarta, Kamis (13/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan  selama ini pengelolaan sampah di kabupaten/kota tidak berjalan dengan baik. Pasalnya, kabupaten/kota lebih mengandalkan TPA Regional Piyungan untuk membuang sampahnya, khususnya Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul (Kartamantul).

Hal ini mengakibatkan volume sampah di TPA Piyungan melebihi kapasitas, sehingga diambil keputusan untuk menutup TPA Piyungan sejak 23 Juli hingga 5 September 2023 nanti. Meski, untuk zona transisi 1 TPA Piyungan tetap dibuka sejak 28 Juli dengan menerima sampah dengan volume terbatas yakni hanya 100 ton per hari dari Kota Yogyakarta.

Sultan menuturkan, pihaknya sejak dua tahun yang lalu sudah memberikan izin kepada kabupaten/kota untuk menggunakan tanah kas desa (TKD) sebagai tempat pengelolaan sampah. Namun, hal tersebut tidak dimanfaatkan kabupaten/kota dan tetap membuang sampahnya ke TPA Piyungan.

"Kami sudah memberikan izin untuk tanah desa untuk membuang sampah, untuk berproses sampah neng ora digawe (tapi tidak dibuat), sudah dua tahun yang lalu, baru empat bulan lalu begitu kami kasih surat tak tutup (TPA Piyungan), grobyakan (gaduh/panik). Ya kita biasa begitu, sedangkan itu sudah dua tahun lalu," kata Sultan di kompleks Kepatihan, Kota Yogyakarta, DIY, Senin (31/7/2023).

Sultan menyebut, pengelolaan sampah seharusnya ditangani oleh masing-masing kabupaten/kota berdasarkan undang-undang, bukan ditangani oleh provinsi. "Kan di UU juga sampah itu wewenang kabupaten (dan kota), kita kan memfasilitasi saja, bukannya (provinsi) tidak mau," tegas Sultan.

Dengan ditutupnya TPA Piyungan, lanjut Sultan, kabupaten/kota baru berupaya mengelola sampahnya sendiri. "Kalau sekarang ini kan masalahnya kalau tidak dipaksa (dengan ditutupnya TPA Piyungan), kabupaten (dan kota) itu (pengelolaan sampahnya) tidak jalan. Jadi memang dituntut dipaksa," ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, sampah yang dihasilkan Kota Yogyakarta ditampung di zona transisi 1 TPA Regional Piyungan. Meski TPA Piyungan ditutup sejak 23 Juli hingga 5 September, namun untuk zona regional 1 tetap dibuka sejak Jumat (28/7/2023).

Sekda DIY, Beny Suharsono mengatakan pekan kemarin bahwa zona transisi 1 TPA Piyungan sudah memiliki celah 10 persen setelah dilakukan penataan, dari yang sebelumnya sudah terisi 98 persen.

Meski begitu, zona transisi 1 hanya akan menampung 100 ton sampah per hari dari Kota Yogyakarta. Padahal, sampah Kota Yogyakarta yang ditampung di TPA Piyungan sebelumnya rata-rata sekitar 260 ton per hari.

"Kota (Yogya) yang tidak punya lahan memadai untuk mengelola sampah, timbunan sampah sangat mengganggu di perkotaan. Apabila volume sampah 100 ton per hari, bisa kita geser ke transisi 1 yang memang sudah ada celahnya sekitar 10 persen, luasnya kira-kira 1.747 meter persegi. Ini akan kita geser ke sana untuk kedaruratan di Kota (Yogya)," kata Beny.

Untuk Kabupaten Sleman, diminta mengelola sampahnya secara mandiri di Tamanmartani, Kalasan. Lokasi ini menjadi pengganti Cangkringan, yang mana ditolak warga untuk menjadi tempat penitipan sampah sementara menyusul ditutupnya TPA Piyungan.

"Diperintahkan Pak Gubernur hari ini, Sleman harus melakukan pengelolaan sampah secara mandiri di Tamanmartani, tidak bicara Cangkringan dan seterusnya. Kami sudah prolog ke Bupati Sleman," ujarnya.

Tamanmartani dikatakan mampu menampung hingga 260 ton sampah per hari, dan hanya akan mengelola sampah khusus untuk wilayah Sleman. Beny menegaskan, tidak ada penolakan warga dijadikannya Tamanmartani sebagai tempat pengelolaan sampah mengingat warga sekitar sudah mengetahui adanya pembangunan di kawasan tersebut yang memang difungsikan sebagai tempat pengelolaan sampah

"Berarti (masalah pengelolaan sampah untuk) Sleman dan Bantul sudah teratasi," katanya. Sementara itu, untuk Kabupaten Bantul dikatakan sudah mampu mengelola sampahnya sendiri.

Bantul dapat mengelola sampahnya sendiri mengingat wilayah tersebut juga memiliki lahan yang memadai. "Bantul dengan lokasi yang masih memadai bisa mengelola sampah secara desentralisasi. Desentralisasi karena Bantul punya program sampah selesai di level kelurahan masing-masing," kata Beny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement