Ahad 06 Aug 2023 16:06 WIB

ASN Yogyakarta Wajib Terapkan 'Mbah Dirjo', Pj Wali Kota: Kurangi Volume Sampah

Mereka diminta membuat pengolahan sampah organik lewat metode biopori.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
Warga membawa sampah untuk setoran bulanan di Bank Sampah Suryo Resik, Suryodiningratan, Yogyakarta.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Warga membawa sampah untuk setoran bulanan di Bank Sampah Suryo Resik, Suryodiningratan, Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah Kota Yogyakarta (Pemkot) menerapkan Gerakan Mengolah Limbah dan Sampah dengan Biopori Ala Jogja atau Mbah Dirjo. Gerakan ini digalakkan menyusul ditutupnya TPA Regional Piyungan hingga September 2023 nanti.

Penjabat (Pj) Wali Kota Yogyakarta, Singgih Raharjo mengatakan, gerakan ini merespons darurat sampah yang diharapkan dapat mengurangi volume sampah hingga 30 persen di Kota Yogyakarta. Menurutnya, 30 persen sampah tersebut bukan jumlah yang sedikit karena dapat mencapai 60 ton.

Pasalnya, Kota Yogyakarta memproduksi sekitar 200 ton sampah per hari. Meski TPA Piyungan ditutup, namun untuk zona transisi 1 TPA Piyungan masih dibuka untuk menerima sampah dari Kota Yogyakarta sebanyak 100 ton per hari.

Artinya, dengan 30 persen sampah yang sudah berkurang dari gerakan Mbah Dirjo ini, dinilai signifikan dalam mengurangi volume sampah di Kota Yogyakarta.

Singgih menyebut, biopori ala Yogyakarta ini menjadi salah satu solusi untuk penanganan sampah organik di level hulu, dengan level terkecil yakni rumah tangga. Pada level rumah tangga, bisa menggunakan biopori standar dengan menggunakan pipa paralon yang agak besar, kemudian diberi lubang-lubang.

Setelahnya, pipa dapat ditanam sekitar 80 centimeter. Sementara untuk biopori jumbo yang kapasitasnya lebih besar, dapat menggunakan ember cat 25 kilogram sebanyak dua buah yang ditumpuk dan ditanam sebagian.

Ada pula jenis yang lebih besar lagi untuk secara kolektif digunakan bersama-sama. Ukuran ini tentu menyesuaikan dengan lahan yang dimiliki warga.

“Prinsip biopori adalah membuat kompos. Biopori ini ukurannya macam-macam, dari lahan seluas satu konblok atau 20 centimeter pun bisa. Tinggal dilubangi kemudian ditanam paralon, cukup simpel Bayangkan saja, dari 20 centimeter bisa cukup untuk satu bulan sampah," kata Singgih.

Dijelaskan, saat ini sudah cukup banyak wilayah di Kota Yogyakarta yang menerapkan metode Mbah Dirjo. Peninjauan ke beberapa wilayah pun dilakukan, salah satunya di Kampung Balapan, Klitren, yang hampir seluruh warganya sudah memiliki pengelolaan sampah mandiri metode biopori.

Pihaknya yakin jika metode ini dilakukan secara masif, target pengurangan 30 persen sampah akan terlampaui. Dalam menyukseskan program ini, khusus untuk ASN serta Bumdes di Yogyakarta wajib menerapkan gerakan Mbah Dirjo tersebut.

Lewat program Mbah Dirjo Sowan, setiap ASN diminta untuk membuat pengolahan sampah organik lewat metode biopori di rumah tangga masing-masing. ASN diwajibkan menjadi pelopor pengolahan sampah, dan selanjutnya mengedukasi tetangga, serta lingkungan sekitar untuk menerapkan hal yang sama.

Bahkan, juga diterapkan sanksi jika ASN tidak menerapkan gerakan Mbah Dirjo ini. "Untuk ASN program ini wajib dan nanti ada sanksi, juga reward-nya. Jadi kita wajibkan itu dengan bukti foto di rumahnya waktu instalasi, dan foto bukti itu disampaikan ke atasan langsung secara berjenjang. Itu nanti tanggal 7 (Agustus 2023) akan kita lihat rekapnya untuk evaluasi,” tegas Singgih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement