Rabu 10 Sep 2025 19:29 WIB

Kaprodi PPDS Anestesia Undip Dituntut 3 Tahun Penjara dalam Kasus dr Aulia Risma

Struktur tingkatan di PPDS Undip tak hanya simbolik, tapi dijalankan sistematis.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Karta Raharja Ucu
Tiga terdakwa kasus kematian Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS Anestesia Undip, menjalani persidangan dengan agenda penuntutan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (10/9/2025).
Foto: Kamran Dikarma/ Republika
Tiga terdakwa kasus kematian Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS Anestesia Undip, menjalani persidangan dengan agenda penuntutan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (10/9/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Mantan kaprodi PPDS Anestesia Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Taufik Eko Nugroho, dituntut pidana penjara selama tiga tahun. Taufik merupakan satu dari tiga terdakwa dalam kasus dugaan perundungan dan pemerasan almarhumah Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS Anestesia Undip Angkatan 77. 

Dalam persidangan dengan agenda penuntutan di Pengadilan Negeri Semarang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyorot peran Taufik dalam menarik Biaya Operasional Pendidikan (BOP) sebesar Rp80 juta per tiap mahasiswa PPDS Anestesia Undip. Dana tersebut diperuntukkan untuk membiayai berbagai kebutuhan akademik mahasiswa, termasuk serangkaian ujian seperti computer based test (CBT), objective structured clinical examination (OSCE), dan ujian komprehensif. 

Namun dalam persidangan terungkap BOP adalah biaya tak resmi alias ilegal. Sebab berdasarkan keputusan Rektor Undip, setiap mahasiswa PPDS Anestesia Undip seharusnya hanya membayar SPP sebesar Rp15.500.000 per semester. Di luar itu, kewajiban lain mahasiswa adalah membayar uang sumbangan pengembangan institusi (SPI) sebanyak satu kali sebesar Rp25 juta.

JPU memaparkan BOP dikumpulkan bendahara dari masing-masing angkatan PPDS Anestesia Undip. Mereka kemudian menyetorkan uang tersebut dalam bentuk tunai kepada Sri Maryani, staf PPDS Anestesia Undip, yang turut menjadi terdakwa dalam kasus kematian Aulia Risma Lestari. 

Sri mendapat upah Rp500 ribu setiap bulan untuk perannya mengelola BOP. Terhitung sejak 2018-2023, total uang yang sudah diterima Sri dari dana BOP mencapai Rp24 juta. 

JPU mengungkapkan, Taufik turut menikmati dana BOP. Menurut JPU, berdasarkan catatan keuangan Sri, sejak 2014 hingga 2023, Taufik telah menerima dana sebesar Rp177 juta yang bersumber dari BOP. "Uang tersebut diberikan dalam bentuk tunai maupun reimburse atas kegiatan yang diklaim sebagai bagian dari tugas akademik," kata JPU. 

Menurut JPU, berdasarkan fakta persidangan, terungkap pula bahwa Taufik sempat mengisyaratkan pembayaran BOP sebagai syarat mengikuti berbagai ujian. "Pada pertemuan dengan para bendahara angkatan, terdakwa menekankan secara tidak langsung merupakan persyaratan untuk mengikuti ujian CBT, OSCE, dan kegiatan akademik lainnya," ucapnya. 

Selain mengatur penarikan BOP, JPU menyebut, Taufik juga mengetahui adanya sistem senioritas yang diterapkan melalui penggolongan atau kasta di PPDS Anestesia Undip. Namun Taufik disebut tak pernah menindak praktik tersebut.

"Secara tidak langsung (Taufik) membiarkan dan memanfaatkan sistem kekuasaan ini menjadi instrumen pemaksaan dalam pelaksanaan pungutan BOP residen," kata JPU. 

JPU menambahkan, struktur tingkatan di PPDS Anestesia Undip tidak hanya simbolik, tapi dijalankan secara sistematis dalam kegiatan sehari-hari. Hal itu menimbulkan dampak psikologis pada diri mahasiswa, khususnya mereka yang masih junior.

"Karena setiap bentuk pembangkangan atau ketidakpatuhan dapat berdampak pada evaluasi akademik dan pengucilan dari kegiatan pembelajaran," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement