REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan pemerintah memiliki dampak ganda terhadap perekonomian nasional. Program tersebut dapat menjadi penggerak ekonomi kerakyatan jika dilaksanakan dengan perencanaan yang matang dan berbasis bahan pangan lokal, namun juga berpotensi menimbulkan beban fiskal serta ketergantungan impor bila tidak diawasi dengan baik.
“Program Makan Bergizi Gratis tentu membawa dampak positif, terutama dalam meningkatkan gizi anak-anak dan membuka lapangan kerja baru di sektor pangan. Tetapi di sisi lain, bila kebutuhan bahan makanannya tidak dipenuhi dari dalam negeri, program ini justru bisa mendorong impor pangan,” ujar pengamat ekonomi Esther Sri Astuti saat dihubungi di Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Ia menjelaskan, keberhasilan program MBG sangat bergantung pada rantai pasok domestik. Jika bahan pangan seperti susu, telur, tepung, dan sumber karbohidrat lainnya diserap dari petani dan produsen lokal, maka akan terjadi efek berganda (multiplier effect) bagi ekonomi daerah.
“Dampaknya bisa sangat baik bila pemerintah memastikan pasokan berasal dari dalam negeri. Misalnya, di Papua bisa menggunakan sagu, di Nusa Tenggara Timur memakai tepung lokal, atau di Madura memanfaatkan jagung. Pendekatan berbasis pangan lokal bukan hanya memperkuat ekonomi rakyat, tetapi juga menumbuhkan kemandirian pangan nasional," jelasnya.
Namun, Esther mengingatkan bahwa pelaksanaan MBG juga memiliki sejumlah tantangan logistik dan potensi risiko teknis, terutama dalam hal distribusi makanan ke sekolah-sekolah.
“Distribusi makanan ini harus dikelola secara profesional. Kalau pengiriman terlambat, bahan makanan bisa basi, dan risikonya bukan hanya kerugian ekonomi tapi juga keselamatan anak-anak. Kasus keracunan bisa saja terjadi bila sistemnya tidak rapi,” kata Esther.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, ia menyarankan agar pemerintah menggandeng komite sekolah dan dapur umum lokal, seperti model yang diterapkan di Jepang. Menurutnya, pendekatan berbasis komunitas akan mempermudah kontrol kualitas dan memperkuat rasa tanggung jawab sosial.
“Di Jepang, dapur umum dikelola bersama komite sekolah sehingga menu dan bahan makanan bisa dikontrol dengan baik. Ini jauh lebih efektif ketimbang menyerahkan semuanya ke pihak ketiga tanpa pengawasan langsung,” tuturnya.
Selain aspek logistik, Esther juga menyoroti dampak fiskal dari program ini. Menurutnya, MBG merupakan kebijakan konsumtif yang membutuhkan dana besar dan berkelanjutan, sehingga harus diimbangi dengan evaluasi ketat agar tidak mengorbankan program produktif lainnya.
Ia menilai, agar tidak membebani fiskal negara, program MBG sebaiknya tidak langsung dijalankan secara masif, tetapi dimulai dengan pilot project di daerah-daerah yang memiliki tingkat stunting tinggi.
“Lebih baik dimulai dari daerah prioritas dulu. Dari situ bisa dievaluasi efektivitas, mekanisme distribusi, hingga potensi kebocorannya. Setelah hasilnya jelas, baru diperluas secara bertahap,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini.
Lebih jauh, Esther menegaskan bahwa keberhasilan MBG tidak semata diukur dari seberapa banyak anak yang menerima makanan gratis, tetapi dari sejauh mana program ini mendorong tumbuhnya ekonomi lokal dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
“Kalau pelaksanaannya baik, MBG bisa menggerakkan ekonomi desa, memperkuat industri pangan lokal, dan menambah lapangan kerja. Tapi kalau asal-asalan, hanya akan menjadi proyek sesaat tanpa dampak ekonomi nyata," katanya.