Rabu 03 Dec 2025 14:54 WIB

Mencari Hunian Layak di Kota Pelajar yang Kian Melangit

Beban biaya hidup mahasiswa kini semakin berat.

Salah satu bangunan kos yang ada di Yogyakarta.
Foto: Dian Astri Nataliya
Salah satu bangunan kos yang ada di Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arifany Inas Rosyida, Dian Astri Nataliya

Selepas hujan mereda, keramaian di sepanjang Jalan Kaliurang tak banyak berkurang. Motor-motor mahasiswa memenuhi gang-gang sempit menuju kos masing-masing. Kawasan ini sejak lama ramai dengan hunian mahasiswa, namun belakangan, tidak semua dapat menemukan tempat tinggal yang layak dengan harga yang bersahabat.

Di lapangan, keluhan soal harga kos yang tak sebanding dengan fasilitas bukan lagi cerita baru. Rahma, mahasiswa Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, termasuk yang merasakannya sejak semester pertama. Dengan budget awal Rp 700 ribu, ia justru mendapat kos Rp 500 ribu yang fasilitasnya sangat minim.

“Bayarnya 500, tapi listrik sendiri, kamarnya kosong, dan kamar mandinya gabung sama pemiliknya. Jadi kayak rebutan, nggak nyaman banget,” ujar Rahma, Jumat (21/11/2025).

Ia juga menyebut banyak kos di wilayah kampusnya yang kini memasang harga tak masuk akal. “Ada yang 1,4 sampai 1,6 juta, tapi cuma ada kipas, atau malah nggak ada kipasnya. AC nggak ada, sempit pula. Itu banyak banget di Jogja.”

Pengalaman serupa dialami Via, mahasiswa di kawasan Nogotirto. Ia menemukan kos Rp 800 ribu yang fasilitasnya hanya standar, bahkan tanpa meja belajar. "Dengan harga sama ada tempat yang punya kulkas bersama. Jadi kayak nggak sebanding,” katanya saat diwawancara, Ahad, (16/11/2025).

Lutfi, rekan Via, juga harus menelan ekspektasinya. Targetnya Rp 600 ribu, tapi sulit menemukan kos yang layak sehingga ia akhirnya mengambil kos dengan harga Rp 650 ribu. "Cari yang murah tapi kualitasnya baik itu susah banget,” ungkapnya, Ahad, (16/11/2025).

Ketua RT 13 Dusun Kocoran, Wahyu Edhi, saat diwawancara Rabu (12/11/2025) mengungkapkan kenaikan harga kos memang tidak merata, tetapi persaingan lokasi membuat beberapa pemilik terus menaikkan tarif. Kos yang ia kelola sendiri cenderung stabil sejak 2015, hanya naik dari Rp 700 ribu menjadi Rp 750 ribu. Namun ia mengakui bahwa harga di kawasan Kaliurang sangat beragam, dipengaruhi fasilitas dan kedekatan dengan kampus.

Dalam beberapa kasus, mahasiswa pun mulai beralih ke rumah kontrakan. Galih, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, memilih tinggal bersama teman-temannya karena lebih hemat dan fleksibel. “Lebih murah karena bayar bareng, dan aturannya nggak seketat kos,” katanya, Rabu (12/11/2025).

Fenomena perpindahan ini, menurut Dr Askuri, dosen Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta yang memiliki latar belakang studi sosiologi, menggambarkan perubahan pola hunian mahasiswa. Ia mengenang masa kuliahnya pada tahun 1990-an ketika kos murah sangat mudah ditemukan. “Tahun 1997 harga kos masih sekitar Rp 400 ribu per tahun. Semua masih murah,” ujarnya, menekankan besarnya perubahan dalam tiga dekade terakhir.

photo
Dosen Sosiologi Universitas Aisyiyah Yogyakarta, Dr Askuri - (Dian Astri Nataliya)

Saat diwawancara pada Kamis (13/11/2025), Askuri menyebut bahwa Yogyakarta tetap memiliki identitas kuat sebagai kota pelajar. Namun dinamika kelas sosial dan mekanisme ekonomi membuat harga kebutuhan mahasiswa, termasuk kos, ikut bergerak naik. “Yang penting adalah menjaga agar kota ini tetap aman dan nyaman untuk belajar. Tantangannya memastikan semua mahasiswa, dari latar belakang apa pun, tetap bisa mengakses hunian yang layak,” katanya.

Perubahan pola hunian, kenaikan tarif yang tak sebanding, serta kian sempitnya opsi kos yang terjangkau menunjukkan bahwa beban biaya hidup mahasiswa kini semakin berat. Yogyakarta masih menjadi kota tujuan pendidikan. Namun keberlanjutan predikat itu bergantung pada kemampuan menjaga agar tempat tinggal tetap ramah bagi para pelajar yang datang dari seluruh penjuru negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement